Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bermodal 2 Juta, Pemuda Ini Rintis Destinasi Wisata di Teras Merbabu

7 Juli 2017   15:22 Diperbarui: 9 Juli 2017   13:21 2978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampai juga di BHC (foto: dok pri)

Ando, pemuda berumur 32 tahun yang merupakan veteran pendaki, sejak 6 bulan lalu nekat merintis obyek wisata di lahan milik bapaknya yang terletak di Dusun Cuntel, Kopeng, Getasan Kabupaten Semarang. Bermodalkan Rp 2 juta, ia mulai menata kawasan seluas 6.000 meter tersebut. Seperti apa wujudnya, berikut catatannya.

Paradigma yang menyebut wisata selalu identik dengan investasi tinggi, rupanya mengundang hasrat Ando untuk mematahkannya. Kebetulan, pemuda asal Dusun Cuntel yang memiliki ketinggian 1864 mdpl ini, mempunyai orang tua yang memiliki lahan pertanian di kampungnya. "Lokasi ini sudah sangat indah, karena jelang sore hari kita serasa berada di awan," ungkapnya, Jumat (7/7) siang.

Dusun Cuntel sendiri, dalam bahasa Jawa artinya buntu atau mentok tiada jalan lagi. Karena hal tersebutlah dulunya para sesepuh Desa Kopeng memberikan nama Cuntel. Kendati begitu, mulai tahun 1970-an, dibuka jalur setapak untuk naik ke Gunung Merbabu. Dengan dibukanya pintu masuk itu, akhirnya banyak pendaki yang ketagihan memanfaatkannya. Sehingga, pihak Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGM) merasa perlu membuat Posko (lazim disebut basecamp) untuk mendata calon pendaki guna mengantisipasi adanya hal-hal yang tidak diinginkan.

"Saya kebetulan pernah bertugas sebagai petugas basecamp selama lima tahun, sehingga lumayan banyak pendaki yang saya kenal. Begitu pun kalau ada musibah di Merbabu, saya dan rekan-rekan di sini selalu terlibat upaya penyisiran hingga korban berhasil ditemukan," kata Ando.

Keindahan dari BHC di siang hari (foto: dok pri)
Keindahan dari BHC di siang hari (foto: dok pri)
Hutan Pinus sebelum sampai Cuntel (foto: dok pri)
Hutan Pinus sebelum sampai Cuntel (foto: dok pri)
Untuk menuju ke Dusun Cuntel, dari Kota Salatiga memerlukan waktu 20 menit. Di mana, selepas obyek wisata Kopeng, pengunjung disuguhi pemandangan hutan pinus yang rapat serta beragam tanaman sayuran. Meski kondisi jalan lumayan halus, tetapi, bagi pengguna kendaraan roda empat bila berpapasan salah satu harus mengalah. Pasalnya, lebar jalan hanya berkisar 3 meteran.

Sekitar 500 meter dari gapura, beberapa remaja menghentikan semua pengunjung. Mereka menarik restribusi pemeliharaan jalan yang besarnya hanya Rp 2.000. Memasuki Dusun Cuntel, selanjutnya terlihat jalan perkampungan terbuat dari plesteran semen. Sebelum memasuki kawasan yang dihuni sekitar 150 KK tersebut, pengunjung yang berniat melakukan pendakian harus melapor ke basecamp. Selain registrasi, setiap pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp 10.000 dengan rincian Rp 5.000 untuk pendakian dan Rp 5.000 bea memasuki kawasan tersebut.

Gapura Cuntel, kampung ujung aspal (foto: dok pri)
Gapura Cuntel, kampung ujung aspal (foto: dok pri)
Ati Karep Bondo Cupet
Memasuki kawasan ini, setiap orang pasti merasakan adanya udara dingin yang menyergap kulit. Kabut terkadang datang tak mengenal waktu sehingga Dusun Cuntel seperti terselimuti awan putih tersebut. Di kampung berpenduduk sekitar 500 orang itu, ada keramahan yang tulus tanpa membungkus kepentingan apa pun, sehingga membuat nyaman siapa pun. Memang, keramahan Teras Gunung Merbabu sudah menjadi kearifan lokal sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda.

Siapa pun yang ada di Dusun Cuntel, maka akan mampu melihat kecilnya Kota Salatiga, Rawa Pening dan berbagai gunung. Saat kabut mulai berhembus, maka kita serasa tengah berada di tengah awan. Beragam keindahan tersebut, bisa didapat secara murah meriah. Jadi, alasan wisata harus mahal, terbantahkan sudah.

Sampai juga di BHC (foto: dok pri)
Sampai juga di BHC (foto: dok pri)
Kembali ke Ando, ia yang merasa mempunyai jaringan pertemanan dengan ratusan pendaki, sejak akhir tahun 2016 lalu, merasa terusik untuk membenahi lahan milik Ngatmin yang merupakan ayah kandungnya. Dirinya ingin membuat kolaborasi antara pertanian dengan wisata, sayang, ibarat pepatah Jawa, pemuda yang masih betah melajang tersebut kondisinya ati karep bondo cupet (keinginan hati kuat tapi tiada modal). "Akhirnya saya berbicara dengan bapak tentang rencana ini," jelasnya.

Setelah mendapat restu bapaknya, Ando dibantu rekan- rekan di kampungnya mulai membenahi lahan pertanian itu. Karena bambu dan kayu sebagai bahan material sudah tersedia, maka, bermodalkan uang Rp 2.000, ia pun membuat loket masuk, gardu pandang, menanami rumput hingga berbagai bangku sederhana, khas pedesaan tentunya. Terlihat juga beragam permainan tradisional seperti egrang, ayunan karet ban bekas sampai dakon.

Para pendaki menggelar acara di BHC (foto: dok pri)
Para pendaki menggelar acara di BHC (foto: dok pri)
Ando yang tubuhnya penuh tato ini menjelaskan, kendati investasi yang ia keluarkan relatif kecil, namun faktanya kawasan wisata yang diberi nama Bukit Harapan Cuntel (BHC) miliknya lumayan ramai dikunjungi pelancong. Bahkan, kadang, para pendaki dalam jumlah besar kerap menggelar acara di sini. "Hari- hari biasa sekitar 50-an orang yang datang, sedangkan di hari libur bisa mencapai 10 kali lipatnya," tuturnya.

BHC, lanjut Ando, nantinya akan ia lengkapi dengan taman bunga hingga homestay yang tarifnya terjangkau. Saat ini, pengunjung baru sebatas melepas penat sembari ngopi di areal yang dikelolanya. Dan, yang tak ketinggalan adalah berselfie saat matahari tenggelam mau pun terbit. Sehingga, tidak heran bila banyak anak-anak muda yang jelang subuh sudah tiba di lokasi.

Ando anak gunung yang setia dengan Cuntel (foto: dok pri)
Ando anak gunung yang setia dengan Cuntel (foto: dok pri)
"Saya tidak ada target berapa tahun BHC sudah dilengkapi homestay dan fasilitas lainnya, yang penting jalan dulu. Jadi bondo nekad (bonek) ga masalah," ungkapnya sembari menambahkan NHC sudah dilirik para investor untuk diajak kerja sama, tapi Ando menolaknya.

Apa yang dilakukan Ando, sepertinya layak diapresiasi. Ia yang dibesarkan sebagai anak gunung, menolak berurbanisasi, dirinya lebih memilih membangun kampungnya sendiri kendati modalnya sangat tipis. Yang pasti, Anda tengah berupaya mematahkan paradigma tentang menciptakan kawasan wisata harus menggunakan duit milyaran. "Yang lebih penting, saya berusaha menjaga keseimbangan alam di teras Merbabu," jelasnya mengakhiri perbincangan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun