Bangunan  yang sekarang menjadi Balaikota Salatiga, ternyata merupakan gedung uzur yang dibangun sekitar tahun 1850 ketika pemerintahan kolonial Belanda masih bercokol di bumi pertiwi. Hebatnya, gedung tersebut sebenarnya dipersiapkan untuk tempat tinggal ketika Ratu Juliana berkunjung ke negeri jajahannya. Seperti apa kondisinya sekarang ? Berikut catatan ketika blusukan untuk Kompasiana.
Pada jaman serba tidak enak, gedung yang terletak di jalan Sukowati nomor 51 Kota Salatiga ini, disebut sebagai Gedung Papak. Nama itu muncul karena bentuk bangunannya rata (bahasa Jawa Papak), hal tersebut berbeda dibanding gedung- gedung lainnya di jaman pemerintahan kolonial Belanda yang mayoritas arsitekturnya berkiblat pada gaya Eropa.
Di sisi kanan kiri bangunan utama, terdapat bangunan sayap yang sekarang difungsikan sebagai kantor Humas (di sisi kiri) sedangkan sebelah kanan kantor Setda. Di bagian belakang terdapat sejumlah bangunan yang dipergunakan sebagai kantor juga.Agak sulit membayangkan betapa kayanya Baron van Hikkeren saat itu. Sebab, hampir seluruh atapnya menggunakan cor. Hanya bangunan sayap  kiri yang menggunakan genting tanah liat.
Dari balkon, dulunya orang bisa langsung melihat indahnya gunung Merbabu. Sayang, sekarang di bagian belakangnya berdiri gedung bertingkat yang mengakibatkan mata terhalang menyaksikan pemandangan. Di lokasi ini, kendati relatif bersih namun sama sekali tidak difungsikan. Padahal, kapasitasnya mencapai 50 an orang sehingga bila dimanfaatkan untuk kegiatan lain maka keberadaan balkon bakal sangat optimal.
Bangunan nan cantik, berusia hampir 167 tahun dan sehari- harinya dipergunakan sebagai kantor Walikota Salatiga, ternyata dengan kasat mata ditemukan tanaman liar di tembok mau pun dekat kusen. Bahkan, di dekat kabel listrik, terlihat jelas bibit beringin dan suplir setinggi sekitar 15 centi meter seakan berlomba tumbuh melawan tanaman liar di atasnya. Keren, seakan tak ada manusia satu pun yang bakal mengusiknya.
Berdasarkan data, gedung yang mewah tersebut, sebenarnya dibangun untuk kepentingan Ratu Juliana ( Ratu kerajaan Belanda) yang lahir di Den Haag tanggal 30 April 1909. Konon, bila sang Ratu berkunjung ke ke negeri jajahannya akan menjadikan Rumah Papak sebagai tempat tinggalnya. Sayang, tak ada literatur yang detail apakah Juliana jadi berkunjung ke Salatiga atau tidak. Demikian pula kenapa harus dipersiapkan jauh – jauh hari sebelum Juliana lahir.
Yang pasti, sebelum jatuh ke tangan Pemkot Salatiga,telah bergonta ganti pemilik. Bahkan, bangunan ini pernah dimanfaatkan sebagai markas pasukan Divisi RM Jatikusumo ketika jaman revolusi. Hingga militer Jepang merangsek masuk ke Indonesia, gedung yang sama sempat dijadikan markas Kempeitai (pasukan militer Jepang) dan paska kemerdekaan Republik Indonesia, disewa Pemkot Salatiga. Waktu itu, biasa disebut Kotapraja mungkin karena Kota Salatiga masih bernama Kotamadya. Sedangkan Kotapraja ditetapkan tahun 1917, lumayan uzur kan.
Dalam perjalanannya, tahun 1950 bangunan ini akhirnya dibeli pihak Pemkot senilai Rp 300.000 ! Jangan heran, uang sebesar itu di jaman orde lama sangat besar. Hingga sekarang, seluruh gedung yang ada tercatat sebagai bangunan cagar budaya dengan nomor intentaris 11-73/Sla/057. Selama lima tahun ke depan, nantinya Yulianto SE MM dan M. Haris bakal berkantor di sini. Mampukah duet petahana tersebut memimpin Salatiga secara bijak ? Mari kita ikuti bersama. (*)