Keberadaan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Jemaat Griya Mulya di Purworejo, sepintas tak ada yang istimewa. Namun, setelah didalami, ternyata bangunan berusia 137 tahun tersebut, menyimpan banyak cerita. Berikut penelusurannya, Senin (16/1) siang.
Gedung GPIB yang terletak di jalan Urip Sumohardjo nomor 42, Kabupaten Purworejo atau sebelah timur alun- alun, pada hari biasa terlihat lengang tanpa aktifitas apa pun. Seperti galibnya rumah ibadah umat Kristen, tempat ini hanya ramai pada Sabtu sore dan Minggu ketika jemaat menggelar kebaktian.
Yang mengherankan,bangunan berusia hampir 1,5 abad ini masih terlihat kokoh tidak seperti bangunan- bangunan sekarang yang baru menginjak angka 10 tahun telah ambrol. Perpaduan adonan semen yang meliputi kapur, kampur merah (hasil tumbukan bata merah), pasir dan semen tempo dulu, ternyata lebih kuat dibanding struktur beton bertulang. Maklum, dibangun jaman pemerintahan kolonial Belanda, belum ada nyali untuk korupsi.
Karena pintu gerbang terkunci, saya mengurungkan niat untuk menggali sejarah gedung GPIB. Beruntung,atas petunjuk seorang tukang becak, saya berhasil menemui salah satu jemaatnya yang bernama Natanael Suprapto (70) warga desa Boro Wetan yang mengaku sejak kecil memeluk agama Kristen. Berdasarkan penuturan almarhum ayahnya, ia mampu menjelaskan keberadaan bangunan yang masuk cagar budaya tersebut.
“Sesuai cerita almarhum ayah saya, GPIB dibangun tahun 1879 oleh pemerintah kolonial Belanda dan menempati lahan seluas 1.450 meter persegi,” tuturnya.
Karena kiblat gaya Belanda selalu mengarah ke Eropa, lanjut Suprapto, maka bentuk arsitektur gedung GPIB juga menggunakan pilar–pilar seperti galibnya bangunan Eropa.Pada bagian depan terdapat teras berukuran 1,5 X 3 meter yang atapnya merupakan cor beton. Untuk menahannya, dimanfaatkan dua pilar berukuran cukup besar.
Menurut Suprapto, ada sisi menarik pada awal pendirian GPIB yang kala itu disebut Indische Kerk yakni kerap dinamakan gereja pemerintah.Pasalnya, pendeta yang memimpin merupakan pegawai pemerintahan kolonial Belanda. Sehingga, masyarakat menganggapnya sebagai gereja “plat merah”. “Konsekunsinya, segala sesuatu yang terkait gereja diatur oleh pemerintah,”ujarnya.
Jemaat Indische Kerk di tahun 1900 an sempat mengalami perpecahankarena perbedaan pendangan pimpinannya, hingga paska kemerdekaan, setelahBelanda hengkang dari Republik Indonesia, akhirnya tahun 1948 Gereja Protestan Indonesia (GPI) menetapkan bangunan tersebut sebagai tempat ibadah jemaat GPIB.“ Setelah menjadi GPIB, hingga sekarang tidak pernah ada gejolak,” ungkapSuprapto.
Sebenarnya cukup banyakyang diceritakan Suprapto tentang perjalanan GPIB, khususnya saat menyandang nama Indische Kerk. Sayang,penjelasannya susah dicatat satu persatu. Dan lagi, saya juga tidak mau terjebakmenuliskan konflik internal di masa lalu.
Lantas, bagaimana kondisi bangunan GPIB sekarang ? Karena termasuk bangunan cagar budaya, maka, secara fisik wujut gedung ini masih sangat terawat. Di mana, untuk mempercantiknya, terlihat cat yang terlihat belum terlalu lama disapukan sehingga tampilan gereja makin menawan. Kendati sangat uzur usianya, namun, penampilannya tetap cantik.