Kendati almarhum Setyo Ramelan dulunya ikut berjuang agar Republik ini merdeka, namun, istrinya, Sukesi (75) warga Bendosari RT 01 RW 05, Kumpulrejo, Argomulyo, Kota Salatiga ternyata hidupnya sangat sengsara. Janda renta tersebut selama bertahun-tahun hidup di rumah reyot merangkap kandang.
Kabar tentang Sukesi yang biasa disapa mbah Kesi ini, sebenarnya saya dapatkan Rabu (5/10) malam. Baru Kamis (6/10) sore saya sempat melacaknya. Tak begitu sulit menemukan rumahnya, sebab, dari jalan raya Salatiga-Kopeng hanya berjarak 20 meter. Memasuki halaman rumahnya, terlihat bagian kuda-kudanya sudah melengkung tinggal menunggu ambruk.
Di bagian genting terlihat lobang lumayan besar yang membebaskan air hujan langsung menerobos ke dalamnya. Sementara di belakang, mungkin dulunya untuk dapur, atapnya telah ambrol. Dinding-dinding yang terbuat dari papan sudah lapuk dimakan usia sehingga anjing mau pun ayam piaraannya bebas keluar masuk. Tak berapa lama, keluarlah seorang perempuan renta yang memperkenalkan dirinya sebagai mbah Kesi.
Usai ditinggal suaminya, kehidupan mbah Kesi semakin terpuruk. Sebab, semasa hidupnya Setyo Ramelan menggadaikan SK pensiunnya dan tidak ikut asuransi. Uang pensiun yang di tahun 2008 sebesar Rp 400 ribu, tiap bulan dipotong angsuran Rp 330 ribu. Otomatis, nenek ini hanya hidup dengan anggaran Rp 70 ribu perbulan.
“Karena sisa pensiun tak mencukupi, ya pilihannya tidak ada lagi selain utang ke bank thitil (kredit harian) tanpa agunan,” kata mbah Kesi sembari menambahkan untuk pinjaman Rp 100 ribu, ia harus mengangsur sebesar Rp 13.000 kali 10 angsuran.
Menurut mba Kesi, dulunya almarhum suaminya pernah memungut seorang anak yang diberi nama Uprih Setyaningsih. Namun, memasuki usia dewasa, sang anak kembali ke orang tuanya sehingga mengakibatkan dirinya hidup sebatang kara. “Sekarang Uprih sudah berkeluarga, tapi tidak tahu hidup di mana,” tuturnya.
Karena berbincang di halaman rumah kurang nyaman, pura-puranya saya disuruh masuk. Begitu kaki memasuki rumah reyot ini, aroma khas langsung menyergap lubang hidung. Antara bau kotoran ayam, pesing, apek dan lembab menyatu sehingga semakin lengkap melesak ke dada. Ruangan berukuran sekitar 4x6 meter penuh barang-barang tidak terpakai. Sementara di lantai tanah, terlihat kotoran ayam ada di mana-mana.
“Memang rumah ini sudah berubah fungsi pak. Sekarang fungsinya sebagai kandang anjing dan ayam,” jelasnya sembari menunjuk kamar kumuh tempat ia beristirahat.
Di usia uzurnya, mbah Kesi mengakui sebenarnya sekarang pensiun yang diterimanya Rp 1,2 juta. Namun, karena sudah terlanjur terjerat hutang, saban bulan ia hanya menerima Rp 50 ribu. Untuk makan sehari- hari, dirinya berakrobat dengan berhutang ke bank thitil. “
Kalau tidak biasa mengangsur, biasanya saya menjual salah satu ayam piaraan,” jelasnya.
Beberapa hari lalu, kata nenek ini, perwakilan salah satu komunitas di Salatiga telah mengunjunginya. Selain melakukan pengecekan lapangan, komunitas tersebut berencana akan menggelar bedah rumah. Hanya kapan bakal direalisasi, mbah Kesi belum bisa memastikannya.
Saat saya berpamitan, mbah Kesi sempat mengantar sampai jalan aspal di depan rumahnya. Ia terlihat sangat gembira ada yang mengunjunginya. Duh! Negara ini sudah 71 tahun merdeka, namun masih ada janda pejuang yang bertahun-tahun tinggal di kandang berbaur bersama anjing dan ayam piaraan. Banyak orang kaya, tapi banyak pula yang tidak peduli. Begitu juga dengan media, sepertinya ikut abai memberitakannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H