Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Takut Menulis Fiksi

20 September 2016   14:36 Diperbarui: 20 September 2016   14:48 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibarat super market Kompasiana adalah suatu pasar yang sangat luas dan menyediakan berbagai dagangan yang boleh dilahap konsumennya. Di sini, blog keroyokan terbesar di tanah air ini, saban hari dibanjiri ribuan pengunjung dengan berbagai karakternya.

Saya tertarik dengan salah satu kanal di Kompasiana, yakni Fiksiana. Pasalnya, beberapa hari yang lalu, seorang sahabat Kompasianer yang biasa bermain di ranah fiksi, mendadak mengeluh karena selama 12 jam tayang, hit artikelnya tak mencapai 100. Sementara, artikel berbau politik yang juga dibuatnya, dalam tempo 1 jam hitnya menembus angka  100. Apakah selera pasar memang seperti itu ? Bisa iya ,bisa tidak, tergantung dari sudut mana menilainya.

Penasaran dengan keluhan tersebut, saya yang seumur- umur di Kompasiana tidak pernah menulis fiksi, akhirnya tertarik mencobanya. Diprovokasi trio mantan gadis, yakni mbak Wahyu Sapta Rini (Semarang), mbak Dinda Pertiwi (Kudus) dan mbak Biyanca Kenlim (Hongkong), akhirnya Senin (19/9) saya berupaya menulisnya. Agak terseok- seok, untuk membuat sebuah cerita pendek (Cerpen) butuh 70 menit, baru bisa ditayangkan.Maklum, pemula di dunia antah berantah ini. Sementara dalam menulis reportase, hanya memerlukan 30 menit.

Dalam Cerpen berjudul Tiga Puluh Enam Tahun yang Lalu yang tayang pk 13.16 itu, ternyata ada fakta yang berbeda. Sebab, dalam 1 jam, fiksi ini sudah nangkring di Nilai Tertinggi (NT) dan total hitnya mencapai 250. Sementara vote tercatat 14 ditambah komen 29 orang, antara vote dengan komen tak seimbang karena ada yang hanya memberikan vote tapi beberapa rekan Kompasianer menulis komen lebih dari satu kali (baca : tiga-puluh-enam-tahun-yang-lalu)

Sampai pk 21. 15, ketika layar Kompasiana saya tutup, Cerpen ini masih nangkring di NT dengan hit 890, vote mencapai 54 dan komen 127. Perolehan yang bagi saya sangat lumayan untuk orang yang baru pertama kalinya merambah fiksi. Nah, dari sini terlihat bahwa paradigma fiksi sepi pengunjung adalah keliru adanya. Semua tergantung cara menyajikannya, karena saya telah membuktikannya.

Kita adalah “Tuhan”

Sejujurnya saya tak paham fiksi, menulis Cerpen hanya merasa tertantang untuk mematahkan bahwa kanal fiksi tidak laku di Kompasiana. Padahal, setahu saya, ranah fiksi sebenarnya kaya imajinasi. Setiap penulis bebas mengembangkan daya khayalnya tanpa terpengaruh data. Hal ini sangat berbeda dalam penulisan opini mau pun reportase yang tentunya memerlukan data pendukung.

Dalam membuat artikel berbau opini, kita harus melakukan riset kecil- kecilan terkait data pendukung. Sedang di reportase, ini tingkat kesulitannya lumayan tinggi. Sebab, kita perlu mendatangi lokasi, wawancara dan pengambilan gambar. Semuanya baru diolah menjadi tulisan yang layak disajikan. Celakanya, reportase juga memiliki resiko menerima komplain dari pihak- pihak yang merasa dirugikan. Padahal, berbagai bentuk protes, merupakan tanggung jawab sepenuhnya Kompasianer.

Kembali pada dunia fiksi, kita bebas berkhayal tentang berbagai hal. Tentunya khayalan yang masuk akal, sebab, bila tak rasional, maka tulisan itu hanya sekedar numpang lewat. Menurut saya, cerpen mau pun puisi harus mempunyai semacam roh agar menarik minat seseorang untuk membacanya. Tugas kita adalah membenamkan roh tersebut pada tulisan, sebab, kita adalah “ Tuhan” bagi fiksi. Mau dibentuk seperti apa pun, itu adalah hak prerogatif penciptanya.

Pertanyaannya, kenapa karya kita tidak mendapat atensi pembaca ? Jawaban paling sederhana, kita harus intropeksi diri. Sudahkah kita memberikan roh pada tulisan kita ? Apakah kita telah menciptakan fiksi mirip gadis sexy yang mampu membuai setiap pembaca ? Bila semuanya belum, ya jangan berharap terlalu banyak. Terlebih lagi, fiksi yang alur ceritanya mbuletmelingkar- lingkar tiada ujung pangkal, alamat sepi pembaca.

Kesimpulan paling akhir, dunia fiksi adalah ranah tanpa batas. Kita sah mengumbar imajinasi, kita boleh menciptakan pesona dan tidak dilarang menyodorkan nestapa. Namun, yang perlu dicatat, jangan terlalu berlebihan dalam mengumbarnya. Sebab, pembaca tak selalu menyukai apa pun yang melebihi dosis. Silahkan mencobanya, selamat berfiksi menggunakan hati karena saya sendiri cukup tahu diri untuk tidak menekuni ranah ini. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun