Dawet ireng, minuman tradisional pelepas dahaga asal Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah sudah banyak diketahui orang. Ada puluhan pedagang yang menjajakannya di sepanjang jalan raya Kebumen-Purworejo. Di balik itu semua, ternyata ada sesuatu yang cukup “dahsyat” di dalam mangkok perpaduan cendol, santan, gula merah dan es batu tersebut.
Kendati pedagang dawet ireng banyak terkonsentrasi di jalan raya Kebumen-Purworejo, tepatnya di kecamatan Butuh, namun, perihal “dahsyat”nya cendol berwarna hitam tanpa pewarna ini, saya dapatkan di jalan Mranti. Seorang pedagang bernama cak Din, secara tak sengaja memaparkan kehebatan dagangannya hingga membuat dirinya berikut keluarganya tetap mampu bertahan hidup secara layak puluhan tahun.
Cak Din yang pernah merasakan bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta, sejak tahun 2000 an memutuskan berwiraswasta setelah terkena PHK. Karena modalnya cekak, akhirnya ia memilih membuka lapak es dawet. “Saya awalnya sempat ragu, sebab, soal perdawetan saya sangat awam,” tuturnya.
“Kalau sebelumnya omzet hanya sekitar 50 mangkok perhari, sekarang sudah mapan menjadi 150 an mangkok perhari,” tukasnya.
Wow, dengan omzet mencapai 150 mangkok perhari dan harga jual Rp 3.000 permangkok, maka penghasilan kotor cak Din mencapai Rp 450.000 / hari. Untuk menghitung keuntungan bersihnya sangat mudah, karena bahan baku senilai Rp 1.500/mangkok, maka income bersih sehari dirinya mengantongi Rp 225.000. Bila rata- rata setiap bulan hanya berdagang 25 hari, penghasilannya saban bulan Rp 5.625.000. Angka yang menggiurkan bagi bisnis ecek- ecek.
Apa yang diungkapkan oleh cak Din, ternyata juga diamini oleh mas Giar, penjual dawet ireng di pinggir alun-alun Purworejo. Mantan karyawan perusahaan konstruksi asal Lampung ini, memilih banting stir menjadi pedagang kaki lima. “Kalau bicara omzet, ya sekitar 150 an mangkak perharinya pak,” jelasnya.
Menurutnya, omzet tersebut stabil di musim kemarau. Namun, memasuki penghujan, omzet akan mengalami penurunan hingga 50 persen. Implikasi turunnya omzet akan berdampak pada menurunnya income juga. Kendati begitu, paling apes Rp 100.000 sehari tetap mampu dibawa pulang. Padahal, saat bekerja di perusahaan konstruksi, gaji yang didapat, paling banter Rp 2.000.000 perbulan.
Berbeda dengan cak Din mau pun mas Giar, seorang pedagang dawet ireng di kawasan kecamatan Butuh, yakni pak Wagiman, cenderung enggan membuka rahasia “perusahaan”nya. Lapaknya yang berada di pinggir jalan raya, nyaris tak pernah sepi. Kendati begitu, dengan dalih sibuk melayani pembeli, dirinya menolak diajak berbincang.