Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Umur Menara Air di Kota Magelang ini Genap Satu Abad

27 Juli 2016   12:18 Diperbarui: 28 Juli 2016   00:51 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Begini kekokohannya (foto: dok pri)

Tahun 2016 ini, menara air yang merupakan salah satu land mark Kota Magelang, ternyata memasuki usia 100 tahun. Hebatnya, bangunan yang dirancang oleh arsitek Belanda bernama Thomas Kharsten itu, ternyata tetap berfungsi dengan baik. Sepertinya, bangunan masa lalu memang lebih berkualitas dibanding paska merdeka.

Sekitar 37 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1979 ketika duduk di kelas 1 SMA, saya kerap menghabiskan waktu di bawah menara air ini. Saat suntuk menghadapi guru fisika, mate matika mau pun kimia, alternatif mengobatinya ya bolos terus ngadem di sini. Setelah berpuluh tahun meninggalkan Kota Magelang, akhirnya kesempatan bertandang kembali ke bak air raksasa yang terletak di alun- alun tersebut kembali terealisasi.

Ada perbedaan yang mencolok di alun- alun yang berada di pusat Kota Magelang, bila dulu situasinya bersih, rapi dan adem, sekarang di sekeliling lapangan besar tersebut dikepung oleh tenda- tenda PKL.

Begitu pun di bawah menara air yang termasuk cagar budaya itu, puluhan pedagang sepertinya enggan membuka celah sedikit pun. Nyaris tiap jengkal lahan, dikuasai sepenuhnya pedagang makanan. Mungkin ini kebijakan yang populis, namun, implikasinya ya kerapiannya berkurang.

Lahan di bawahnya dikepung tenda pedagang (foto: dok pri)
Lahan di bawahnya dikepung tenda pedagang (foto: dok pri)
Menara air yang ada sekarang ini dikelola oleh PDAM Kota Magelang, fungsinya tetap sama, yakni tandon air untuk didistribusikan kepada masyarakat. Bak yang dibuat dari beton, konon mampu menampung air sebanyak 1.750 juta liter. Ditopang oleh 32 pilar ukuran besar, luas bangunannya mencapai 526 M2 dan memiliki ketinggian 23 meter. Semisal orang nekad terjun bebas dari bagian atas, dijamin langsung bablas nyawanya.

Untuk bagian bawah yang bentuknya bulat, difungsikan menjadi ruangan kantor PDAM, meliputi bidang pelayanan, laboratorium hingga gudang. Total ruang sebanyak 13 ruangan yang terkesan longgar. “ Ngantor di sini, tidak perlu pendingin udara, karena udaranya sudah sejuk,” kata salah satu karyawan PDAM Kota Magelang yang enggan disebut namanya.

Bagian bawah untuk kantor PDAM (foto: dok pri)
Bagian bawah untuk kantor PDAM (foto: dok pri)
Kepentingan Militer

Menurutnya, pembangunan menara air yang dimulai tahun 1916 tersebut, awalnya bertujuan untuk mengamankan persediaan air minum bagi militer dan warga Belanda yang tinggal di Kota Magelang.

Di mana, agar para tentara terlindungi dari upaya peracunan mau pun pencemaran, maka dibuatlah bak air raksasa yang mustahil mampu dijangkau oleh kaum pribumi, pasalnya arealnya selalu dijaga ketat oleh tentara bersenjata lengkap.

Pemerintahan kolonial Belanda  memang cerdik, untuk memenuhi pasokan air, setelah menara berdiri, mereka menarik air dari desa Kalegen, Bandongan, Kabupaten Magelang yang berjarak 10 kilometer. Menggunakan tiga pipa besar berdiameter 50 cm, jutaan liter air disedot ke tempat penjernihan selanjutnya ditarik pompa supaya mengisi bak raksasa. “ Kebetulan sumber air di Kalegen mempunyai sembilan mata air yang biasa disebut sebagai tuk songo,” ungkapnya.

Mengamati karya Thomas Kharsten memang membuat siapa pun terkesima, untuk menuju bak penampungan, harus melewati  tangga yang dibuat bertingkat tiga. Selanjutnya, di atas bak penampung terdapat ruangan kecil dan ruang kecil yang memiliki sirine sebagai penunjuk waktu kala itu. Di luar hal tersebut, ada ruang hampa yang fungsinya guna mengatur tekanan air. Sedang pendistribusian air ke konsumen  dikendalikan tiga pompa.

Begini kekokohannya (foto: dok pri)
Begini kekokohannya (foto: dok pri)
Di bagian bawah yang terdiri ruangan- ruangan kantor PDAM, temboknya menggunakan batu kali seperti layaknya bangunan jaman kolonial Belanda. Sedang untuk pembangunan tiang ke atas, semuanya hanya terdiri campuran pasir, semen, tumbukan bata merah dan gamping. Adukan itu, digunakan membalut kerangka besi. Maklum, saat itu belum ada beton readymix, tetapi faktanya tetap bertahan hingga menembus 100 tahun.

Menara air yang termasuk bangunan cagar budaya ini, sebenarnya mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan Belanda, terlebih lagi yang pernah merasakan hidup di Kota Magelang dan saban hari menikmati airnya.

Sayang, lahan di bagian bawah tak tersisa sedikit pun akibat dikuasai pedagang, dampaknya kenyamanan turis dipastikan cukup terganggu.

5-579843f15fafbde3282b8598.jpg
5-579843f15fafbde3282b8598.jpg
Kendati merupakan peninggalan bangsa Belanda yang telah memerah segala kekayaan negeri ini selama hampir 3,5 abad, namun, menara air ini sudah selayaknya terus dirawat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun