Stasiun Kereta Api Tuntang yang terletak di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, kini tak lagi ada tanda-tanda kehidupan. Padahal, infrastruktur transportasi darat tersebut pernah menjadi primadona di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Seperti apa kondisi stasiun yang dibangun tahun 1871 tersebut, berikut penelusurannya.
Jauh sebelum kendaraan-kendaraan asal Negeri Matahari terbit merajai jalanan republik ini, kereta api yang dikendalikan oleh Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) perusahaan pemegang monopoli angkutan di atas rel, praktis menjadi satu-satunya sarana transportasi darat, baik jarak pendek maupun jauh. Karena Kabupaten Semarang merupakan wilayah penghasil pertanian dan peternakan, pemerintah kolonial Belanda merasa perlu membangun sebuah stasiun di Tuntang.
Kenapa Kecamatan Tuntang dianggap perlu dibangun stasiun kereta api? Sementara di Ambarawa yang berjarak sekitar 10 kilometer sudah berdiri satu stasiun cukup besar. Jawabnya sederhana, Tuntang menghubungkan Kota Salatiga, Kecamatan Bringin dan Kedungjati, Kabupaten Grobogan. Dari segi kacamata bisnis, tentunya posisi ini sangat strategis. Terlebih lagi, hanya berjarak sekitar 100 meter terdapat jalan raya Semarang-Salatiga.
Berdasarkan cerita dari almarhum ayahnya, Stasiun Tuntang, Bringin, Gogodalem hingga Kedungjati dibangun tahun 1871 tetapi baru selesai tahun 1873. Kondisi serbasusah, kehadiran kereta api yang biasa disebut sepur itu langsung menjadi primadona transportasi. Orang mau ke Kedungjati, ke Tuntang maupun ke Ambarawa selalu memanfaatkan sepur klutuk tersebut. Bahkan, pascakemerdekaan Kardiman masih ingat, saat usianya baru 7 tahun, kerap diajak ayahnya ke Ambarawa menggunakan kereta api berlokomotif hitam legam ini.
Menurut Kardiman, kereta api dari Kedungjati yang menuju Ambarawa, biasanya mengangkut kayu-kayu, hasil bumi, dan ternak milik para pedagang. Kondisi tersebut berjalan hingga tahun 1970 an, lalu lintas kereta api masih ramai. Hingga akhirnya, ketika angkutan darat lainnya mulai memenuhi jalanan, akhirnya jalur kereta api ke Stasiun Tuntang ditutup. Begitu pun rel ke Stasiun Bringin, Gogodalem, maupun Wiru. Bahkan, belakangan dua stasiun, yakni Gogodalem serta Wiru telah lenyap.
Kardiman masih belum lupa, dulu Stasiun Tuntang menjadi tempat pangkalan bagi para blantik (pedagang ternak). Di mana, ratusan sapi sebelum dikirim ke Jakarta, terlebih dulu dikumpulkan di sini. Setelah siap, baru diangkut dengan gerbong menuju Ibu Kota. Sayang, saat jalan raya mulai ramai oleh berbagai kendaraan, akhirnya pengangkutan ternak melalui stasiun ini secara perlahan dihentikan.
Stasiun Tuntang yang berada di ketinggian 464 mdpl sempat mangkrak tanpa perawatan berpuluh tahun. Setelah Stasiun Ambarawa secara resmi dijadikan Musium Kereta Api, belakangan stasiun Tuntang dijadikan stasiun pendukung. Di mana, wisatawan yang ingin menikmati laju lokomotif uap melewati pinggiran Danau Rawa Pening, nantinya berakhir di stasiun ini. Biasanya usai diberi kesempatan istirahat sekitar 30 menit, kereta api akan berangkat lagi menuju Ambarawa.
Berdasarkan keterangan, pijak PT KAI rencananya akan menghidupkan kembali jalur Ambarawa, Tuntang, hingga ke Kedungjati. Hal tersebut terungkap dengan adanya Memorandum of Understanding (MOU) antara Direktorat Jendral Perkeretaapian Kementerian Perhubungan dan Gubernur Jawa Tengah di awal tahun 2013. Terkait hal itu, pihak KAI tengah melakukan pembebasan lahan yang sejak puluhan tahun sempat dikuasai warga secara ilegal.