Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lelaki Perkasa di Kaki Gunung Telomoyo

29 Juni 2016   17:30 Diperbarui: 29 Juni 2016   17:31 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pria perkasa di Kali Pancur (foto: dok pri)

Ketika kehidupan semakin sulit, bukan berarti seseorang harus berkeluh kesah, sebab, roda hidup tetap berjalan sebagaimana mestinya.Demikian juga dengan lelaki setengah baya yang tinggal di Desa Nogosaren, Kecamatan Getasan, kabupaten Semarang ini.Demi istri dan dua anaknya, ia saban hari naik turun tebing di kaki Gunung Telomoyo guna menafkahi keluarganya.

Namanya Rumadi, umur 50 tahun, bekerja sebagai pencari rumput untuk 5 ekor sapi perahnya. Untuk memenuhi pakan bagi ternaknya, tiap hari, ia harus menempuh perjalanan sekitar 3 kilometer (pulang pergi) di areal Air Tejun Kali Pancur yang medannya naik turun dengan sudut kemiringan mencapai 70 derajat. “ Sehari kadang tiga kali mencari rumput di sini,” tutur pria setinggi 160 cm dan berat 55 kilogram tersebut.

Memanggul rumput melewati anak tangga yang menanjak (foto: dok pri)
Memanggul rumput melewati anak tangga yang menanjak (foto: dok pri)
Track Kali Pancur sepanjang 900 meter, berupa anak tangga beton berjumlah 800 an bukanlah medan yang ramah. Jangankan membawa beban, berjalan kaki seorang diri saja nafas sudah ngos- ngosan. Sedang beban yang dipanggul Rumadi, berupa rumput basah seberat 25 an kilogram. Tubuhnya yang kecil, dipaksa membawa rumput berukuran tiga kali lipat ukuran badannya. Berapa nilai rumput tersebut ? “ Kalau musim penghujan, harganya berkisar Rp 10.000 perbongkok (ikat) tapi kalau musim kemarau harganya Rp 15.000,” tukasnya.

Artinya, bila saat ini masih termasuk musim penghujan, maka saban harinya Rumadi menempuh perjalanan sepanjang 9 kilometer hanya untuk mendapatkan 3bongkok rumput basah senilai Rp 30.000. Luar biasa ! Padahal, kalau melihat track di kali Pancur, apa lagi usai diguyur hujan, maka , meleng sedikit, nyawa bakal menjadi taruhannya.

“ Rumput tiga bongkok itu hanya untuk makan ternak selama sehari, esok harinya sudah ludes. Karena yang namanya sapi perah, makannya tak pernah mengenal berhenti,” jelasnya.

Rumadi yang saya pergoki tengah beristirahat di tengah perjalanan air terjun Kali Pancur, menjelaskan, dari 5 sapi perah miliknya, sehari rata- rata mampu menghasilkan susu sebanyak 25 liter yang seliternya dijual dengan harga Rp 5.000. Artinya, setiap hari dirinya mengantongi uang tunai sebesar Rp 125.000 dari hasil penjualan susu segar. Untuk menekan pengeluaran perihal pakan, ia mencari rumput sendiri.

Mengusir lelah di gubuk, perhatikan rumputnya (foto: dok pri)
Mengusir lelah di gubuk, perhatikan rumputnya (foto: dok pri)
Puasa Wajib, Cari Nafkah Juga Wajib

Ada hal yang menarik pada diri Rumadi, ketika beristirahat, tak nampak bekal minuman apa pun. Ternyata, ia tengah menjalani ibadah puasa. Lelaki perkasa yang hanya bertelanjang dada itu menjelaskan, berpuasa bagi orang Islam hukumnya adalah wajib. Kendati begitu, mencari nafkah untuk keluarga hukumnya juga wajib.

“ Tidak ada alasan apa pun yang menghalalkan kita untuk tidak berpuasa saat bekerja. Seberat apa pun pekerjaan kita, puasa tidak akan menyebabkan kita meninggal,” ujarnya mirip seorang uztad yang tengah memberikan tauziah.

Sembari mengelap keringatnya, Rumadi mengaku, dirinya tak tahu soal politik. Siapa pun Bupati, Gubernur bahkan Presiden pun, baginya tidak masalah. Sebab, sehebat apa pun seorang pemimpin, bisa dipastikan sulit mengubah ekonomi keluarganya. “ Mulai jaman pak Harto, Gus Dur, Megawati , SBY hingga sekarang pak Jokowi, hidup saya ya hanya begini- begini saja,” tukasnya tanpa nada mengeluh.

Di bawah lembah ini Rumadi mencari rumput (foto: dok pri)
Di bawah lembah ini Rumadi mencari rumput (foto: dok pri)
Rumadi memegang falsafah Jawa peninggalan almarhum kakeknya yang berbunyi ora ubet , ora ngliwet (tidak lincah mencari nafkah ya tidak bakal bisa menanak nasi). Karena menyadari pendidikannya hanya SD, maka ia merasa bahwa nyaman atau tidak kehidupannya, tergantung dirinya sendiri. “ Mau hidup cukup tanpa bekerja keras, itu namanya mimpi. Giliran terbangun, perutnya lapar ya kelimpungan sendiri, “ katanya mengakhiri perbincangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun