Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tradisi Nyadran yang Hampir Tergerus Zaman

31 Mei 2016   16:52 Diperbarui: 1 Juni 2016   01:51 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Walikota Salatiga Yulianto menghadiri Nyadran di salah satu kampung (foto: dok pri)

Tradisi Nyadran, yakni rangkaian budaya masyarakat Jawa Islam dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, sepertinya semakin tergerus jaman. Di Kota Salatiga, ritual bersih- bersih makam leluhur serta kenduri ini sudah jarang ditemui kendati belum sepenuhnya raib.

Beberapa perkampungan yang terletak di pinggiran Kota Salatiga, secara rutin tetap melaksanakan tradisi Nyadran di areal pemakaman masing- masing. Biasanya, ritual ini terdiri atas pembersihan makam kerabat, pepunden dan yang paling ramai adalah makan bersama. Berbagai makanan serta tumpeng yang dibuat warga, diletakkan di atas tikar.

Tradisi Nyadran biasanya dilakukan mulai pagi hari, di mana, warga setempat bergotong royong membersihkan areal pemakaman. Baik makam kerabatnya sendiri mau pun makam leluhur, tak pandang bulu semua rumput dicabut, disapu hingga terkesan bersih. “ Bersih- bersih makam ini istilah Jawanya disebut Besik,” kata salah satu warga di Karang Kepoh, Tegalrejo, Kota Salatiga.

Tumpeng dan beragam makanan lain siap disantap (foto: dok pri)
Tumpeng dan beragam makanan lain siap disantap (foto: dok pri)
Saat warga melakukan aksi bersih- bersih, ibu- ibu mulai berdatangan sembari menenteng beragam makanan. Biasanya terdiri atas tumpeng berikut lauknya, seluruh makanan berat tersebut dikumpulkan jadi satu. Oleh panitia Nyadran, semuanya diletakkan di atas tikar panjang. Nantinya, bakal dinikmati bersama- sama.

Usai aksi bersih- bersih, seorang tokoh agama setempat, akan memimpin pembacaan doa yang diikuti seluruh warga yang hadir. Selanjutnya, warga meneruskan mengirim doa- doa di makam kerabatnya masing- masing. Setelah prosesi pengiriman doa selesai, barulah masuk pada ritual makan bersama. Tentunya, ada prakata serta kembali dilakukan doa sebelum memulai menyantap hidangan yang tersaji.

Makan bersama di makam (foto: dok pri)
Makan bersama di makam (foto: dok pri)
Saat doa- doa tuntas dipanjatkan, maka yang ditunggu pun tiba. Apa lagi kalau bukan makan nasi tumpeng beramai- ramai.  Nah, di sinilah kehebohan kerap terjadi. Anak- anak kecil yang kurang sabar menunggu giliran, biasanya langsung menyerobot. Hal itulah yang memancing remaja lainnya untuk berbuat sama, akibatnya situasi ya bertambah meriah.

Bukan Tradisi Islam

Hebohnya makan bersama ini biasanya dimaklumi oleh sesepuh kampung, mereka mafhum bahwa kesempatan bersantap siang berjamaah itu hanya terjadi setahun sekali. Terkait hal tersebut, kendati kehebohan terjadi di areal pemakaman, pratis tidak ada yang melakukan pelarangan. “ Bukan karena tidak pernah makan tumpeng, tapi memang makan bersama di kuburan (pemakaman) ada kenikmatan tersendiri,” ungkap warga.

Nyadran sendiri, selama ini identik dengan tradisi agama Islam, padahal hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Sebab, di perkampungan, ritual Nyadran diikuti warga dari lintas agama. Apa pun keyakinannya, semua berbaur menjadi satu untuk menggelar ritual ini. Lantas, muncul sejak kapan tradisi Nyadran di tanah Jawa tersebut ?

Tradisi Nyadran lebih banyak dikenal pada masyarakat Jawa Tengah dan DIY, di mana, pelaksanaannya dilakukan setiap hari ke 10 bulan Rajab atau menjelang tibanya bulan Sya’ban. Merunut tradisi yang kerap dikaitkan dengan Agama Islam itu, ternyata sudah ada sejak jaman Hindu- Budha. Artinya, saat itu agama Islam belum masuk ke bumi Nusantara, ritual ini telah digelar secara rutin.

Ketika Hindu- Budha masih mendominasi kepercayaan, tradisi Nyadran disebut Craddha yang biasa digelar pada masa Kerajaan Majapahit. Ritualnya sama, yakni membersihkan pemakaman (besik), memberikan sesaji pada leluhur dan mengirim doa selamatan. Biasanya diikuti makan bersama yang diikuti seluruh warga yang ada di pemakaman. Diduga, istilah Craddha inilah dalam bahasa Jawa diubah menjadi Nyadran.

Hingga agama Islam mulai merangsek ke Nusantara pada abad ke 13, Walisongo yang menyebarkan agama ini, rupanya juga melakukan pendekatan budaya. Berbagai ritual yang sebenarnya menyimpang dari Islam, tetap diakomodir meski tak lagi utuh. Artinya, bila sebelumnya menggunakan doa dalam agama Hindu- Budha, belakangan diganti menggunakan doa- doa Islam.

Itulah sedikit tentang tradisi Nyadran yang hingga sekarang masih dilakukan warga Kota Salatiga di pinggiran. Bila dulu di tahun 60 an  di perkotaan juga selalu menggelar ritual yang sama, belakangan telah raib ditelan jaman. Padahal, esensi Nyadran sebenarnya tak sekedar mengirim doa bersama kepada leluhurnya saja. Ada hal yang lebih penting, yakni berkumpulnya warga untuk bersosialisasi satu sama lain, menikmati kebersamaan dan tentunya melestarikan budaya. Entah sampai kapan tradisi ini tetap bertahan, yang pasti, semakin terpinggirkan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun