Dalam catatan saya, Pawarsa didirikan tahun 1980, di mana gagasan tersebut dimaksudkan untuk menjembatani komunikasi warga Kota Salatiga di perantauan. Awalnya (kalau tak salah) bernama Foruk komunikasi Keluarga Salatiga dan Sekitarnya (Fokkus), baru di tahun 90 an menyandang nama Pawarsa. Para pendiri diantaranya Aziz Said , Roy Marten, alm Totok Mintarto dan tokoh- tokoh lain menganggap, silaturahim harus tetap terjaga kendati masing- masing saban hari selalu tenggelam dalam rutinitas kesibukan di ibu kota.
Meski banyak yang mendulang sukses di ibu kota, namun anggota Pawarsa tidak abai dengan keberadaan kota asalnya. Komunikasi tetap dijalin, baik dengan elemen masyarakat mau pun para pejabatnya. Keberadaan Pawarsa, secara perlahan diakui eksistensinya karena selain rutin menggelar Temu Dulur setiap tiga tahun sekali, mereka juga mengadakan bakti sosial di kampung halamannya seperti khitanan massal serta pemberian bantuan pendidikan terhadap anak tak mampu.
Demikian sedikit catatan tentang Temu Dulur Solotigo 2016, usai hajatan ini, Pawarsa yang bermarkas di Jalan Zamrud B Nomor 1 Cilandak Permai, Jakarta Selatan rencananya akan kembali pulang kampung untuk menggelar khitanan massal yang biasanya diikuti sekitar 100 anak. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, keberadaan Pawarsa Jakarta mau pun kota lainnya layak diapresiasi. Berada di perantauan serta hidup nyaman, bukan berarti lupa dengan kampung halaman. Itulah gaya warga Salatiga. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H