[caption caption="Rombongan pertama karnaval budaya (foto; dok pribadi)"][/caption]Ribuan mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Kota Salatiga, Sabtu (16/4) siang menggelar karnaval budaya. Dalam kegiatan yang mengusung tema Indonesian International Culture Festival (IICF) ini, seluruh peserta mengenakan pakaian adat sesuai asal daerahnya masing- masing berkeliling sesuai route yang telah ditentukan.
Karnaval yang diikuti oleh para mahasiswa UKSW yang berasal dari seluruh penjuru tanah air ini, dimaksudkan untuk memperkenalkan budaya sekaligus adat istiadat berbagai suku di Indonesia. Dalam kesempatan yang digelar oleh Senat Mahasiswa Universitas (SMU) tersebut, diikuti sedikitnya 19 etnis. Masing- masing peserta wajib mengenakan pakaian adat.
Karnaval yang menjadi agenda rutin dan berlangsung setiap tahun ini, tak pelak menjadi tontonan gratis bagi ribuan masyarakat Kota Salatiga. Seakan tidak peduli dengan sinar matahari yang menyengat, seluruh route meliputi kampus UKSW di Jalan Diponegoro,Jalan Monginsidi, Jalan Kartini, Jalan Moh Yamin, Jalan langensuko, kembali ke Jalan Diponegoro yang panjangnya hampir 3 kilometer penuh sesak oleh warga.
[caption caption="Mahasiswa asal Lampung (foto: dok pribadi)"]
Dengan adanya karnaval IIFC ini, maka semakin terlihat bahwa Salatiga memang layak menyandang predikat sebagai Kota Toleran di Pulau Jawa. Sebab, di kota ini berdiam 23 suku yang datang dari berbagai pelosok Indonesia. Kendati bukan berarti tak pernah terjadi gesekan dengan warga setempat, namun, gesekan – gesekan tersebut tidak sampai membesar. Biasanya, setelah perwakilan mahasiswa turun tangan, persoalan langsung mampu dituntaskan.
[caption caption="Mahasiswa Sumba (foto: dok pribadi)"]
Papua Jadi Bintang
Dalam karnaval yang dimulai sekitar pk 10.00 tersebut, ribuan mahasiswa dengan atribut budaya daerahnya masing- masing berjalan kaki menyusuri route yang telah ditetapkan panitia. Praktis, jalur yang dilalui mengalami kemacetan sangat parah. Jangankan kendaraan roda empat, sepeda motor pun bakal terseok- seok bila terjebak di lokasi. “ Tapi kita memakluminya mas, toh kemacetan tidak setiap hari,” kata Nanik (50) warga Jetis Timur.
Dari mulai start di pintu keluar UKSW, praktis jalur di kanan kiri dipenuhi ribuan warga yang ingin menyaksikan hiburan murah meriah ini. Sembari mengajak anak- anaknya, warga berupaya memberikan edukasi kepada anaknya. Setiap satu kelompok lewat, bapak- bapak menjelaskan bahwa rombongan tersebut berasal dari suku A, suku B mau pun suku C. “ Ini merupakan pembelajaran yang bagus bagi anak- anak TK mau pun SD,” ungkap Waluyo (35) warga Nobo yang mengajak dua anak balitanya.
[caption caption="Mahasiswa Ambon manise (foto: dok pribadi)"]
Hampir semua suku yang mengikuti karnaval budaya memang berupaya tampil semaksimal mungkin, kendati begitu, mahasiswa asal Papua sepanjang perjalanan mendapatkan apresiasi dari para penonton, khususnya kaum pria. Sedang kalangan ibu- ibu, mengaku risih. Pasalnya, mahasiswa Papua mengenakan pakaian adat berupa polosan. Satu- satunya “barang” berharga miliknya dibungkus koteka. Sementara mahasiswinya mengenakan pakaian tertutup.