[caption caption="Sumber: jaoleitao.com"][/caption]Kendati paradigma yang menyebut orang bertato merupakan sosok berkelakuan buruk dan erat kaitannya dengan dunia kriminal sudah jauh berkurang, namun, ternyata diskriminasi terhadap orang- orang pemilik tato tetap terjadi. Repotnya, persepsi miring itu kerap menimpa anak muda yang baru lulus lanjutan atas.
Dody, pemuda berumur 19 tahun, warga Jalan Osamaliki, Sidorejo, Kota Salatiga, pernah mengeluh. Selepas bangku SMK tahun 2014 lalu, ia berulang kali mengajukan lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Hasilnya, beberapa perusahaan di Kabupaten Semarang memanggilnya untuk interview awal. “Setiap selesai wawancara, saya tidak pernah lanjut ke tahap berikutnya alias ditolak,” tuturnya.
Menurut Dody, dalam kesempatan interview dengan pihak HRD, biasanya semua berjalan datar-datar saja. Dirinya juga mampu mengatasinya. Yang jadi persoalan, kerap ditanyakan apakah tubuhnya ditato? Apa telinganya dulu pernah ditindik? Karena khawatir pada seleksi lanjutan (kesehatan) ada keharusan buka baju, maka secara jujur dijawab bahwa bagian punggungnya terdapat tato.
Tato tersebut dibuat tahun 2014 lalu, di mana bersama rekan- rekannya satu alumni SMK secara iseng main ke tukang pembuat rajah di tubuh. Saat salah satu temannya membuat tato, ia ikut-ikutan minta ditato di bagian punggungnya dengan gambar kepala singa. Beberapa bulan mempunyai tato, dirinya cukup bangga, berulang kali setiap selfie, tato itu sengaja diperlihatkan.
Enam bulan usai lulus SMK, karena tidak ada biaya untuk kuliah, Dody akhirnya berupaya melamar kerja. Seperti galibnya remaja yang baru lulus, ia ingin bekerja di perusahaan yang mapan, minimal gaji yang diterimanya sesuai Upah Minimum Kota (UMK). Entah sudah berapa puluh berkas lamaran yang diajukan, semua hanya berhenti di tingkat wawancara tanpa ada tindak lanjut.
Karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan, Dody berpikir untuk mencoba mendaftar sebagai anggota TNI jalur Sekolah Calon Bintara (Secaba). Hasilnya, baru pada tahap menyerahkan berkas, ia ditolak mentah- mentah. Pasalnya, dari 7 item syarat pendaftaran, terdapat 3 syarat tambahan yang salah satunya berbunyi: Tidak cacat fisik/bertato/bekas tato dan tidak bertindik telinga atau anggota badan lainnya kecuali yang disebabkan oleh ketentuan adat, tidak buta warna dan tidak berkacamata/memakai softlens.
[caption caption="Ilustrasi remaja bertato (Foto: Dok. pribadi)"]
Apa yang menimpa Dody, mungkin saja dialami oleh ribuan anak- anak muda lainnya di republik ini. Tren mebuat tato di tubuh, pasca tumbangnya Orde Baru, sepertinya semakin mewabah. Disadari atau tidak, mereka telah menghambat masa depannya sendiri. Sebab, sudut pandang masyarakat belum beranjak dari kesan negatif. Padahal, konotasi miring tersebut tak selamanya benar.
Terkait hal itu, untuk adik-adik remaja yang akan mau pun sudah lulus SMA/SMK, berpikirlah terlebih dulu sebelum membuat tato di tubuh. Bila masih ingin bekerja di perusahaan yang layak, ditahan dulu syahwat merajah kulit. Tapi, semisal mau meneruskan kuliah atau wiraswasta, silahkan mengukir gambar sebanyak mungkin. Dan, di masa datang, jangan berharap menjadi anggota TNI/Polri.
Keberadaan tato di Indonesia, sebenarnya sudah berumur sangat lama. Kemunculan pertama kali ada di Mentawai, Sumatera Barat. Konon di kalangan masyarakat Mentawai, budaya tato telah muncul sejak tahun 53 sebelum Masehi. Aneka gambar yang dibuat warga Mentawai, dulunya bukan untuk gagah-gagahan. Namun, mempunyai makna tersendiri. Persepsi negatif perihal rajah permanen di tubuh sendiri, mulai muncul di era orde baru. Bahkan, di tahun 1983 pemilik tato identik dengan pelaku kriminal hingga diburu aparat untuk “disukabumikan”.
Kendati perburuan terhadap orang-orang bertato sebenarnya menyasar kalangan bromocorah, namun banyak anak muda yang didera ketakutan. Mereka ramai-ramai menghapus gambar di tubuhnya dengan menggunakan berbagai cara ekstrem. Selain memakai setrika, ada juga yang memanfaatkan cairan kimia yang mampu membakar kulit. Akibatnya, kulit mengalami luka sehingga rajah tersamarkan.
Meski zaman sekarang sudah banyak beredar obat penghapus tato, tetapi sebelum membuat rajah, hendaknya dipikirkan secara matang terlebih dulu. Bagi remaja yang akan mau pun sudah lulus sekolah, terdapat bahaya pembuatan tato yang selalu mengintai. Apa lagi, saat ini tempat-tempat merajah tubuh tersebar di mana-mana. Dan, celakanya tak sedikit yang cara pengerjaannya mengabaikan faktor kesehatan.