[caption caption="Gardu di timur lapangan Pancasila yang jadi Gerai Daya (foto: dok pribadi)"][/caption]Di Kota Salatiga, sedikitnya terdapat sekitar 10 gardu listrik peninggalan jaman kolonial Belanda yang saat ini berada di bawah pengawasan PT PLN setempat. Bangunan-bangunan kokoh yang dulunya menyimpan banyak cerita ini tetap dilestarikan dan dirawat dengan baik. Berikut penelusuran saya.
Gardu listrik, jaman dulu dikenal dengan sebutan transformatorhusje atau rumah transformator. Kedati begitu, orang-orang tua menyebutnya sebagai gardu Anim. Pasalnya, keberadaan bangunan berpintu satu tersebut dibangun oleh perusahaan listrik Belanda yang bernama Algemene Nederlandsche Indische Electrisch Maatscappij (ANIEM). Karena lidah Jawa, untuk mudahnya diucapkan Anim saja.
Fungsi gardu listrik sebenarnya untuk melindungi transformator (alat penurun tegangan listrik) dari hujan maupun panas. Terkait hal tersebut, guna melindungi komponen di dalamnya, didirikan bangunan bertembok tebal berpintu tunggal dan terbuat dari besi. Mengingat tegangannya sangat tinggi, setiap orang dilarang keras mendekatinya, kecuali petugas perusahaan listrik (saat itu).
Menjaga agar orang tidak mendekatinya atau menyentuhnya, maka pihak ANIEM membuat tulisan berisi peringatan dalam tiga bahasa, yakni Belanda, Indonesia dan bahasa Jawa. Ingin tahu bunyinya? Seperti ini: Lavens Gevaar, Hoog Spanning, Awas Elektrik Kras serta Sing Ngemek Mati. Lantas, bagaimana peringatan bagi orang yang buta huruf? Sebagai gantinya dibuat gambar simbol petir.
[caption caption="Gardu di Jalan ahmad Yani yang dijadikan gudang PLN (foto: dok pribadi)"]
PLTA Jelok sendiri sampai sekarang masih berfungsi dengan baik. Berlokasi sekitar 15 kilo meter dari Salatiga, selain menjadi produsen setrum sejak jaman Belanda, tempat ini juga jadi destinasi wisata bagi masyarakat lokal. Di mana, dengan memanfaatkan sumber air waduk alam Rawa Pening, belakangan dibuka kolam pemancingan yang terbuka untuk umum.
Gardu listrik fungsi utamanya mengubah tegangan dari 6.000 volt menjadi 110 volt untuk dialirkan ke rumah-rumah warga Belanda atau kantor pemerintahan kolonial Belanda. “Kalau untuk kaum pribumi, yang berhak menikmatinya ya hanya kaum priyayi (kalangan ningrat),” ungkap almarhumah Oma Martha, blasteran Jerman-Jawa saat saya ajak berbincang tentang hal ini tiga tahun lalu.
[caption caption="Gardu depan SMP Stella Matutina jadi Gerai Daya (foto: dok pribadi)"]
Hingga Belanda hengkang dari bumi Indonesia, kata Slamet, gardu-gardu yang ada diambil alih pengelolaannya oleh PLN. Cukup lama dikelola PLN, sampai terjadi perubahan tegangan arus listrik menjadi 220 volt, akhirnya gardu listrik tidak difungsikan. Kendati begitu, gardu yang tersebar di berbagai penjuru kota bukan berarti dibiarkan mangkrak. Karena menyimpan banyak cerita, bangunan kaku tersebut sempat disewakan kepada pihak-pihak yang membutuhkan.
[caption caption="Gardu di Jalan Diponegoro difungsikan jadi gudang PLN (foto; dok pribadi)"]
Oleh pihak Koperasi, gardu-gardu yang dulunya dipakai untuk mengendalikan tegangan, belakangan dialihfungsikan menjadi Gerai Daya guna melakukan transaksi pembayaran rekening listrik, pasang baru atau alih daya. Hal ini terlihat di Lapangan Pancasila maupun di depan SMP Stella Matutina. Sementara di lokasi lain, dimanfaatkan sebagai gudang PLN.