Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salatiga Jadi Tempat Pembuangan Orang Gila?

15 Februari 2016   17:41 Diperbarui: 16 Februari 2016   12:59 4036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Salah satu orang gemblung di Jalan Pemotongan (foto: bamset)"][/caption]Ada yang aneh selama sepekan ini di Kota Salatiga, puluhan orang gila yang diduga merupakan kiriman dari daerah lain, mendadak bermunculan di jalan-jalan protokol. Pertanyaannya, benarkan orang-orang tak waras tersebut sengaja dibuang ke kota kecil ini? Berikut penelusuran saya.

Sebagai warga Salatiga, nyaris seluruh penjuru kota saya kenal secara detail, termasuk keberadaan orang-orang gemblung asli kota ini. Para psikopat yang merupakan warga Kota Salatiga, biasanya siang hari keluyuran namun menjelang sore pulang ke rumah masing-masing. Nama-nama seperti Giuk (60) warga Bringin, Kabupaten Semarang, Maryuni (65) warga Bancakan, Sidorejo, Salatiga hingga Karjan (45) warga Getasan, Kabupaten Semarang bukan sosok asing. Pasalnya, mereka biasa menggelandang namun menghilang di malam hari.

Nah, yang terjadi selama sepekan terakhir, saya menemukan wajah-wajah baru pengidap Sarno (sarafnya keno/kena). Mereka tersebar di penjuru kota sehingga membuat pemandangan jadi tak sedap. Sebab, selain bertingkah atraktif, terkadang pakaian yang dikenakan seadanya. Bahkan, ada yang tidak mengenakan celana sehingga “perangkat lunaknya” terlihat mencolok.

Seperti galibnya orang gemblung, tampang mereka mayoritas terlihat sangar. Saat didekati, mulutnya menyeringai memperlihatkan giginya yang puluhan tahun tak tersentuh sikat gigi. Yang membuat warga ketar-ketir, ada salah satu penderita sakit jiwa selalu menggegam batu siap dilemparkan. “Kalau berpapasan, saya mending menghindarinya. Sebab, kalau mendadak dilempar, mau menyalahkan siapa?“ kata Jumadi (60) warga Kalioso, Tingkir, Kota Salatiga.

Senin (15/2) sore, saya berupaya menelusuri keberadaan para Sarno ini. Sayangnya, cuaca susah diajak kompromi. Gerimis tak juga berhenti kendati sudah turun sejak pukul 16.00. Karena terlanjur keluar rumah, saya meneruskan pencarian. Di Jalan Kartini Salatiga, tepatnya di depan Madrah Aliyah Negeri (MAN) yang hanya berjarak 500 meter dari rumah, saya menemukan satu orang. Penampilannya eksentrik. Rambutnya dipotong pendek separo dan tidak memakai celana.

[caption caption="Ini yang ada di Jalan Kartini (foto: bamset)"]

[/caption]

Diturunkan dari Mobil Pick Up

Ketika saya dekati, ia awalnya bersikap pasif. Giliran saya ajak bicara, jawabnya ngelantur dan sikapnya berubah beringas. Karena khawatir dianggap saya ikut tak waras, akhirnya usai mengambil gambarnya dengan pose aduhai, saya pun meninggalkannya. Hingga sekitar 500-an meter, di Jalan Pemotongan, saya kembali menemukan orang gemblung yang mengenakan kaos merah. Saya dekati, ia terkekeh-kekeh. Apa lagi ketika saya sodori sebatang rokok, tanpa menunggu lebih lama langsung disambarnya.

Sama seperti koleganya di Jalan Kartini, pria berumur sekitar 40-an tahun ini, juga susah diajak komunikasi. Mulutnya lebih banyak mengumbar tawa dibanding menjawab pertanyaan. Beberapa warga yang melihat saya “ngobrol” dengan orang gemblung, pada tertawa. Mungkin, pikir mereka saya sudah mulai ketularan sehingga gerimis-gerimis mau menemani temannya. Karena tidak juga mampu mengorek keterangan, akhirnya saya meneruskan penelusuran.

Tiba di Jalan Veteran Kota Salatiga, di depan warung kelontong, lagi-lagi saya menemukan laki-laki tak waras. Perawakannya tinggi besar, kumis dan jenggotnya lebat. Meski begitu, pakaian yang dikenakan masih relatif agak bersih. Saat saya dekati, ia kooperatif. Saya tanyakan asal-usulnya, mulutnya menjawab, “ Kono… kono… adoh.” Maksudnya, 'sana…. sana …jauh,' mungkin rumahnya sangat jauh hingga tidak bisa menyebutkan detailnya.

[caption caption="Ini yang ada di Jalan Veteran (foto: bamset)"]

[/caption]Saya sodori sebatang rokok, ia segera menyambarnya. Namun, ketika mau saya ambil gambarnya, ia langsung berpaling. Menurut warga Jalan Veteran, orang gemblung ini mulai terlihat sejak tiga hari lalu. Meski wajahnya sangar, namun karena tak mengganggu, warga membiarkannya. Kadang warga memberikan nasi yang dibungkus plastik.

Di kompleks pertokoan Pendowo, saya kembali menemukan seorang perempuan berumur 30-an tahun. Sayangnya, ia over reaktif. Saat didekati, tangannya mengacungkan batu cukup besar siap untuk dilemparkan. Melihat adanya potensi ancaman, akhirnya saya mengurungkan niat untuk mengambil gambarnya. Saya enggan kebanyakan nombok, gara-gara artikel, kamera saya pecah kena batu kan ruginya terlalu banyak.

Hingga saya sampai di batas Kota Salatiga, tepatnya di Jalan Raya menuju Kopeng, saya bertemu dengan Budi Haryanto (40) warga Sumogawe, Getasan, Kabupaten Semarang. Budi yang akan menjemput istrinya di pabrik rokok, mengaku pernah melihat sekelompok orang gila diturunkan dari mobil jenis pick up di gapura batas kota. “Waktu itu sekitar pukul 01.00, saya pikir mobil mogok, ternyata malah menurunkan orang-orang gila,” jelasnya.

Perbatasan Kota Salatiga dengan Kabupaten Semarang yang berada di Salib Putih, Argomulyo, memang ideal untuk menurunkan orang-orang gemblung dari daerah lain. Pasalnya, lokasinya agak gelap, sehingga usai diturunkan, orang-orang gila tersebut pasti berjalan ke arah Salatiga yang terlihat terang-benderang. Setelah sampai perkampungan, mereka bakal menyebar. Entah sampai kapan mereka bertahan, biasanya keberadaan orang bernasib malang itu lenyap seiring pihak Sat Pol PP setempat menggelar operasi PGOT.

Sedangkan perbatasan lain yang rawan dijadikan lokasi pembuangan adalah jalur Salatiga – Suruh dan Salatiga – Bringin. Meski merupakan jalan raya, namun mendekati dini hari, situasinya sangat sepi. Bila penurunan orang-orang gila hanya memerlukan waktu kurang dari tiga menit, Salatiga merupakan daerah ideal dijadikan tempat tujuan akhir petualangan orang gemblung tersebut. Entah sampai kapan hal ini berlangsung. (*) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun