Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Digerus Zaman, Bis Surat Ini Masih Kokoh Berdiri

11 Februari 2016   18:31 Diperbarui: 12 Februari 2016   16:41 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kantor Pos Salatiga yang sekarang masuk Cagar Budaya (foto: bamset)"][/caption]Pernah melihat kotak besi berwarna oranye dengan tulisan Brievenbus ? Bagi anak- anak sekarang, mungkin benda itu terlihat aneh dan tak mengerti kegunaannya karena hanya teronggok di tepi jalan. Namun, untuk generasi yang lahir sebelum tahun 80 an, keberadaannya jelas sarat manfaat. Sebab, mereka pernah menggunakan jasanya.

Ya, benda yang ada tulisan bahasa Belanda  tersebut bernama bis surat atau kotak surat yang terbuat dari besi baja, jaman dulu sangat bermanfaat bagi masyarakat yang akan mengirim kabar pada kerabat, teman maupun orang lain. Kendati sekarang surat menyurat secara manual nyaris punah akibat tergerus jaman, namun, keberadaan sarana milik PT Pos itu tetap terawat.

Salah satu bis surat yang sudah ada sejak jaman kolonial Belanda,terlihat berdiri kokoh di depan kantor PT Pos Kota Salatiga yang terletak di Jalan Moh Yamin. Dulu, masyarakat yang mengirim surat sesudah jam kantor tutup, maka kotak antik ini menjadi alternatif untuk menampung surat yang akan dikirim. Selanjutnya, esok harinya, petugas pos bakal mengambilnya guna didistribusikan pada penerima masing- masing sesuai alamatnya.

Kantor PT Pos Salatiga yang juga merupakan bangunan jaman Belanda, sekarang termasuk katagori gedung Cagar Budaya yang tentunya wajib dijaga kelestariannya. Karena bis suratnya berada di depan kantor, otomatis perawatan dan pengawasannya saban hari dilakukan oleh pegawai mau pun penjaga malamnnya sehingga terhindar dari tangan jahil.

[caption caption="Bis surat peninggalan Belanda yang masih terawat (foto: bamset)"]

[/caption]Dari mulai Belanda masih bercokol di Republik ini, bis surat setia melayani penggunanya. Biasanya, petugas PT Pos akan mengambil surat yang ada di dalamnya dua kali sehari. Pengambilan pertama pk 13.00 dan yang kedua pk 18.00 menjelang pengiriman terakhir. Untuk memperlancar distribusi surat, pengirim wajib menempelkan perangko yang nominalnya senilai Rp 75,00 (biasa) sedang kilat Rp 250,00. Tarif tersebut sepanjang yang saya ingat berlaku saat orde baru berkuasa.

Tanpa Perangko Tetap Dikirim

Seiring berjalannya waktu, tarif perangko yang diberlakukan kerap berubah. Yang saya ingat, di tahun 1990 an, perangko biasa seharga Rp 50,00 dan kilat Rp 700,00. Sementara untuk kilat khusus Rp 1500,00. Para pencari kerja waktu itu, ketika mengirim surat lamaran selalu menggunakan jasa PT Pos. Keberadaannya mulai agak terabaikan memasuki tahun 1992, tepatnya setelah bermunculan warung telepon (Wartel) yang menyediakan jasa faximile

Ada hal yang menarik atas jasa PT Pos, di mana, kendati tak ditempel perangko, petugas tetap akan mengirimkan surat itu. Selanjutnya, penerima bakal menerima pemberitahuan bahwa dirinya mendapatkan surat dan bisa diambil ke kantor PT Pos setempat. Syaratnya, penerima harus membayar  nilai perangko ditambah sedikit denda. Bila enggan membayar, otomatis surat tidak diberikan.

Di tahun 1980 an, saya kerap iseng mengerjai beberapa teman, saya kirimkan amplop disertai alamat lengkap, isinya hanya guntingan koran yang tak penting. Surat tersebut saya kirim tanpa perangko atau menggunakan perangko bekas. Biasanya, teman saya yang menerima pemberitahuan akan penasaran, selanjutnya mengambil sekaligus membayar biaya perangko. Giliran dibuka, ia akan mengeluarkan sumpah serapah.

Kembali ke nasip bis surat, kebiasaan surat menyurat di masyarakat agak surut  setelah masuk di tahun 1995 an, yakni saat internet mulai muncul. Dan selanjutnya, tahun 2000 an ketika terjadi booming ponsel. Komunikasi jarak jauh yang  biasanya dilakukan melalui surat, langsung beralih melalui SMS atau telepon. Akibatnya, PT Pos kelimpungan, lalu lintas surat anjlok drastis.Praktis, jasa pos benar- benar tergerus jaman. Paling banter, orang hanya mengirimkan dokumen yang tak begitu mendesak.

Itulah catatan saya tentang bis surat yang usianya melebihi NKRI, meski sekarang jelas- jelas sudah tergilas teknologi, namun, keberadaannya tetap dipertahankan.Secara pribadi, saya juga berterima kasih pada PT Pos yang dulu setia mengantarkan surat berisi rayuan pada mantan pacar saya yang sekarang jadi ibunya anak- anak. Tanpa jasa pos, entah apa jadinya. Bisa- bisa dia sudah disambar pria lain yang lebih mapan ekonominya dibanding saya. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun