[caption caption="Arfi yang bersahaja tapi memiliki prestasi dunia (foto: bamset)"][/caption]
Nama Arfi’an Fuadi (28) dan adiknya M.Arie Kurniawan (25) warga Kota Salatiga yang hanya alumni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mampu melibas lulusan Oxford University dalam kompetisi internasional yang diikuti peserta dari 56 negara, mengundang keheranan tersendiri bagi banyak orang. Terkait hal tersebut, Minggu (31/1) malam saya mengunjunginya.
Saat saya tiba di rumah yang terletak di Jalan Canden nomor 35, Tingkir, Kota Salatiga, saya disambut pria baya berambut putih yang tak lain adalah Ahmad Syahroni ayah kakak beradik tersebut. Dari penjelasannya, saya mendapat keterangan bahwa Arfi sudah menempati rumah sendiri yang lokasinya tak begitu jauh. Mengingat telah pk 20.30, saya segera berpamitan dan bergegas menuju alamat yang dimaksud. Ternyata, Arfi tengah menemani putri kecilnya yang akan tidur. Kendati begitu, ia mau menemui saya hingga terlibat perbincangan. Sayangnya, Arie yang tinggal di Ampel, kabupaten Boyolali tidak bisa ikut "diskusi".
Arfi’an Fuadi yang biasa disapa Arfi, serta Arie adiknya, terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya hanya bekerja sebagai karyawan KUD, sehingga untuk membiayai kuliah anaknya merupakan hal yang mustahil. Untuk itu, dua anaknya sengaja disekolahkan ke SMK. Harapannya tak muluk- muluk, setelah lulus mampu bekerja guna meringankan beban orang tuanya. “ Saya sekolah di SMK Negeri 7 Semarang, sedang Arie di SMK Negeri 2 Salatiga,” kata Arfi, saat memulai berbincang.
Setelah lulus sekolah di tahun 2005, Arfi yang enggan berlama- lama menganggur, akhirnya bekerja serabutan. Mulai membantu di bengkel sepeda motor, membantu tukang cetak foto hingga menjajakan susu segar keliling kampung sempat ia lakoni. Begitu pun sang adik, usai tamat SMK, pernah menjadi tukang cuci motor dan kuli bongkar muat pasir. Semua dijalani hanya karena ingin meringankan beban orang tuanya.
“ Ibaratnya, kerja apa pun kami lakukan. Yang penting halal dan kami tak melanggar hukum,” jelas Arfi mengenang masa lalunya.
Peruntungan Arfi dan Arie mulai terlihat ketika Arfi diterima bekerja di PT Kantor Pos Kota Salatiga. Jabatannya pun cukup mentereng, yakni penjaga malam. Kendati hanya bergaji Rp 700 ribu sebulan, namun ia menjalaninya dengan ikhlas. Dirinya menyimpan mimpi besar, dia ingin berbuat sesuatu yang berarti hingga mampu mengubah kehidupan keluarganya.
Beli Komputer Bekas
Gaji pertamanya tak seperti galibnya anak muda lainnya yang saat menerima gaji perdana digunakan untuk hura- hura, Arfi malah membeli komputer bekas seharga Rp 1,5 juta. Karena duitnya kurang, belakangan sang ayah ikut menombokinya. Memiliki komputer, meski labelnya barang bekas, bagi Arfi merupakan kebanggaan tersendiri. Sebab, perangkat lunak tersebut selama ini dianggapnya sebagai barang mewah. Terkait hal tersebut, ia benar- benar sangat memanfaatkannya.
Secara otodidak, Arfi mulai belajar menggunakan komputer. Begitu pun sang adik, ia juga ikut- ikutan nimbrung di depan keyboard dan layar monitor. Berbagai program dipelajarinya hingga keduanya menemukan seluk beluk design engineering di beberapa situs. Langsung saja referensi tentang desain itu dilahap keduanya tanpa mengenal waktu.
Hingga akhir tahun 2009, saat ayahnya berhenti dari pekerjaannya, Arfi nekad mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang design engineering. Bermodalkan computer AMD 3000, bersama adiknya sepakat memberi nama perusahaannya D-Tech Engineering Salatiga. “ Atas kesepakatan dengan Arie, kami fokus pada bidang 3 D design engineering, sebab, kami meyakini tahun mendatang bidang ini prospeknya sangat bagus,” ungkap Arfi.