Siti saat di jalan raya (foto: dok fb)Melihat seorang ibu muda penyandang tuna netra, sembari menggendong anaknya di siang bolong, siapa pun akan trenyuh. Begitu pula diri saya, tanpa berfikir panjang, spontan naluri saya sebagai makhluk sosial langsung terdongkrak. Seperti ada yang membimbing, saya menghampirinya dan menyerahkan selembar uang.
“ Maaf pak, saya memang buta tapi bukan pengemis. Saya berdagang ini,” tepis ibu muda tersebut sambil menyorongkan 3 buah kemucing, 4 sapu ijuk. Makdeg ! Saya langsung terkesiap. Rasanya mirip ditampar. Saat akan menyerahkan selembar uang, saya sama sekali kurang memperhatikan apa yang ia bawa. Saya terlalu terburu- buru menganggapnya sebagai seorang pengemis yang membutuhkan uluran tangan.
Saya bukan orang yang cengeng menghadapi segala situasi, saya juga sudah kenyang menjalani berbagai penderitaan, namun demi Allah saat mendengar jawaban ibu muda bernama Siti ini, saya nyaris menangis. Dia seorang tuna netra yang karena kodratnya, harus merawat dan momong anaknya yang berumur sekitar 1 tahunan. Sudah begitu, ia juga mencari nafkah dengan jalan berjualan kemucing, sapu ijuk serta matras plastik.
Siti tak mangkal di satu tempat, sembari menggendong anaknya, ia menyusuri jalan- jalan di Kota Salatiga. Sungguh, saya membayangkan, seorang ibu normal saja sering kewalahan momong anaknya yang balita. Sedang yang ini, dirinya menggendong ke sana kemari di tengah sengatan matahari dan ketika akan dibantu secara cuma- cuma, hal tersebut ditolaknya.
Bukan hanya saya, siapa pun pasti terharu melihatnya. Yang membuat saya trenyuh, Siti yang cacat permanen, untuk berjalan saja membutuhkan tongkat, namun menolak pemberian orang yang belum dikenalnya. Ini sangat ironis bila dibandingkan seorang wakil rakyat yang secara finansial sudah berlimpah, tetapi tak malu mengemis meminta proyek mau pun saham.
Karena Siti bersikukuh menolak bantuan yang saya berikan, akhirnya saya membeli kemucingnya. Kendati sebenarnya tak membutuhkan benda tersebut, namun jalan kompromi agar dapat sedikit membantunya hanya melalui cara ini. Dalam perbincangan singkat, ia mengaku mempunyai anak dua orang. Suaminya yang juga tuna netra, memiliki sambilan sebagai tukang pijet. “ Rumah saya di Suruh, Kabupaten Semarang,” ungkapnya singkat tanpa memerinci alamatnya.
Terus terang, saya merasa penasaran dengan sosok Siti. Seorang perempuan cacat, tetapi menolak dikasihani. Saya ingin bertandang ke rumahnya, sayangnya, Siti enggan menyebutkan alamat lengkap domisilinya. Meski begitu, saya berpikir rasional saja, masak hanya mencari alamat tempat tinggalnya saja tak mampu. Toh, Allah memberikan karunia dua mata pada diri saya.

Minggu (10/1) sore, dengan menggunakan motor saya meluncur ke Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang. Jarak tempuh dari Kota Salatiga hanya sekitar 16 kilo meter, jadi dalam tempo 15 menit saya sudah tiba di tujuan. Karena minim informasi, saya mulai bertanya- tanya ke beberapa orang warga setempat. Hasilnya nihil, tanpa alamat lengkap memang agak susah menemukan orang.
Hingga akhirnya, seorang tukang ojek memberikan sedikit informasi. Menurutnya, Siti tinggalnya di Dusun Pranggen, Desa Plumbon, Kecamatan Suruh. Artinya, bila dari arah Salatiga, saya harus kembali lagi ke arah semula. Meski tanpa alamat detail, tapi saya tetap berterima kasih pada tukang ojek tersebut. Tak menunggu lebih lama, motor segera saya pacu kembali menuju dusun yang dimaksud.
