Memenuhi undangan makan di Resto Joglo Ki Penjawi Salatiga, Senin (4/1) malam, saya sempat termangu dengan penampilan live music yang digelar group Clasica Jazz Concerta (CJC). Pasalnya, kendati mengusung genre jazz, namun lagu yang dimainkan adalah lagu- lagu jawa seperti Jaranan, Prau Layar hingga Ilir- ilir.
Sembari sedikit bergoyang, saya perhatikan pemain CJC yang terdiri dari dua orang dewasa , tiga remaja dan seorang lagi anak- anak. Permainan musiknya rancak serta profesional untuk ukuran kota kecil Salatiga. Setelah saya telisik, saya mendapat informasi yang menyebutkan bahwa pemain CJC sebenarnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas ayah, ibu bersama tiga orang anaknya. Bahkan, nama group tersebut adalah nama-nama anak- anak yang semuanya piawai memainkan alat musik.
Menerima informasi yang berharga itu, spontan naluri saya sebagai Kompasianer langsung bergejolak ingin mengetahui lebih detail. Melalui investigasi kecil- kecilan, usai menyantap tom yam dan sapi lada hitam, akhirnya saya ketahui bahwa group CJC dibentuk oleh musisi jazz kawakan asal Salatiga bernama Joko Jazz. Ia yang beristrikan Ningrum memiliki tiga anak, semuanya cewek. Masing- masing adalah Classica Preludia (18), Jazz Angel Estudia (14) serta Concerta Dance Balerina (10).
Dari nama tiga putrinya itu, akhirnya Joko membentuk group musik jazz dengan menggabungkan nama-nama anaknya. Classica biasa tampil dengan keyboard, Jazz Angel memegang metal xylophone sekaligus saksofon, sedang si bungsu Concerta biasa memainkan wood xilophone. Sementara Joko sendiri bermain gitar, yang terakhir Ningrum menguasai tamborin.
Sebagai vokalis, ibu dan tiga anak gadisnya bergantian melantunkan berbagai lagu. Sambil menyeruput Cappucino, telinga saya menangkap CJC tengah memainkan lagu Barcelona, Kopi Dangdut hingga Konga. Digelayuti rasa penasaran, saya mencoba request lagu. Di atas lembar kertas menu, saya tuliskan beberapa lagu jazz barat yang memang lagendaris. Saya ingin tahu bagaimana permainan mereka saat mengolah alat musik pada lagu barat.
Tak butuh lama, berkisar lima menit kemudian, mulailah mengalun Lush Life, God Bless the Child, Mac the Knife (in Berlin) hingga What a Wonderful World. Seperti mengejek saya, beberapa lagu yang bukan pesanan saya seperti How Haigh the Moon, My Funny Valentine dan Girl From Ipanema ikut dimainkan. Usai tujuh lagu digeber, spontan saya langsung memberikan aplaus. Sungguh, keren sekali permainan mereka. Bagi telinga saya yang awam, apa yang mereka mainkan, sangat sempurna.
Melihat dengan kepala sendiri perform CJC di Resto Joglo Ki Penjawi, jujur saja saya terheran-heran dengan fanatisme Joko terhadap musik jazz yang identik dengan konsumsi golongan menengah ke atas. Apa lagi ia dan keluarganya hanya berkutat di kota Salatiga saja yang tentunya jumlah penikmat jazz relatif sangat sedikit. Kenapa dirinya begitu ngotot mempertahankan genre ini?
“Jazz merupakan darah daging saya,” ungkapnya saat jeda.
Kendati hanya berkutat di Salatiga saja, namun bukan berarti CJC miskin pengalaman. Sebab, tiap tahun mereka rutin tampil di Solo City Jazz dan berbagai event di kota-kota lain. Sementara untuk sarana latihan bagi anak-anaknya, Joko kerap membawa seluruh personil “mengamen” di Hotel Laras Asri mau pun Resto Joglo Ki Penjawi. Hal itu sengaja dilakukan guna melatih mental tiga putrinya dalam berhadapan dengan publik.
Joko yang merupakan guru musik, sengaja mendidik, melatih dan membina tiga putrinya sejak mereka lahir. Ibarat dalam kandungan pun, sudah diperkenalkan dengan musik jazz. Hingga saat Clasica serta Jazz beranjak remaja, keduanya telah mampu memainkan berbagai alat musik. Bahkan, kadang sang ayah menyerahkan aransemen lagu-lagu tertentu kepada buah hatinya itu.