Septi Ibu yang luar biasa (foto: dok keluarga)Nama Septi Peni Wulandani, ibu tiga orang anak warga Kota Salatiga mungkin agak asing bagi sebagian pembaca. Namun, untuk ibu- ibu di tanah air, ia telah lama dikenal sebagai ibu profesional. Benar, istri dari Dodik Mariyanto tersebut memang mengkalim dirinya sebagai sosok profesional. Berikut catatan saya, semoga mampu menginspirasi ibu- ibu di Indonesia.
Bukan suatu pilihan yang mudah ketika Septi memilih menjadi ibu profesional, sebab, kalau ia mau menjalani kodratnya sebagai seorang istri sekaligus pegawai negeri sipil (PNS), hidupnya telah nyaman. Suaminya bekerja di salah satu BUMN yang secara ekonomi mampu mencukupi segala kebutuhan. Kendati begitu, ada yang bergejolak pada dirinya. Dia merasa banyak hal yang terpendam, tapi belum mampu diexplore.
Perempuan kelahiran Salatiga tanggal 21 September 1974 ini, sebenarnya mempunyai keberuntungan sejak muda. Di mana, usai menamatkan kuliahnya di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, dalam usia 20 tahun, ia sudah menerima SK pengangkatan sebagai PNS. Status yang tentunya sangat diidam- idamkan oleh banyak lulusan perguruan tinggi. Kehidupan Septi serasa lengkap, cantik, muda, cerdas dan memiliki masa depan. Tak heran banyak pemuda yang terpikat.
Meski teramat banyak pemuda yang kesengsem, namun, Septi lebih memilih Dodik Mariyanto, kakak kelasnya di SMA Negeri 1 Kota Salatiga. Pria alumni Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut, ternyata sejak sama- sama duduk di bangku SMA sudah terbelit asmara oleh sosok Septi. Lucunya, Dodik kurang percaya diri menjadi kekasih sang pujaan. Sehingga gelora di hatinya hanya dipendam sendiri.
Setelah Dodik diwisuda dan bekerja di salah satu bank, ia nekad melakukan pedekate. Tak butuh waktu lama untuk memikat hati Septi, sebab, gadis ini ternyata juga mengagumi kecerdasan Dodik. Tahun 1995, Dodik meminangnya. Celakanya, calon suami juga meminta syarat untuk menjadi istrinya, yakni Septi harus menanggalkan status PNSnya. Pilihan yang berat tentunya, maklum ia baru bergairah sebagai abdi negara.
Melalui pertimbangan yang matang, akhirnya Septi mengiyakan syarat yang diajukan Dodik. Tahun 1995, keduanya menikah dan Dodik memboyong istrinya ke Depok, Jawa Barat. Septi nekad resign dari PNS dan menerima kodrat sebagai seorang istri sekaligus calon ibu. Keputusan melepas status di PNS tersebut, sebenarnya ditentang oleh ibu kandungnya, ibu Musriyati yang sepanjang hidupnya juga seorang PNS (guru). Namun, tekadnya telah bulat.
Menemukan Jarimatika
Seperti galibnya seseorang PNS yang baru saja menanggalkan statusnya, Septi awalnya mengalami Post Power Sindrome. Ia yang sebelumnya selalu berkutat dengan rutinitas kantor, mendadak harus menjadi seorang istri yang “dipaksa” membereskan berbagai pekerjaan rumah seperti bersih- bersih, memasak hingga menunggu kepulangan sang suami. Hingga tahun 1996, putri pertamanya lahir dan diberi nama Nurul Syahid Kusuma, biasa disapa Enes.
Kolaborasi kecerdesan Dodik dan Septi, rupanya tanpa mampu dibendung menurun pada diri Enes. Di mana, dalam usia 2 tahun, bocah cilik tersebut mampu membaca tulisan latin serta hijaiyyah. Setahun kemudian, lahir anak kedua yang diberi nama Dyah Sekar Arum biasa dipanggil Ara.Seperti sang kakak, ia pun mempunyai kecerdasan di atas rata- rata. Hingga tahun bergulir 2003, lahirlah sibungsu, laki- laki bernama Elan Jihad Kusuma. Ketiga anak- anak itu, semuanya menempuh pendidikan homeschooling saat SD. Memasuki SMP, masuk di SMP Negeri 1 Kota Salatiga yang merupakan sekolah paling favorit di Salatiga.
Karena dasarnya Septi bukanlah orang yang bisa berdiam diri di rumah, semasa tinggal di Depok, untuk menambah in come keluarga, ia sempat berdagang pakaian. Sembari menggendong putrinya, dirinya tak risi menggelar dagangannya di berbagai arisan, bazaar hingga membuka lapak di depan sekolahan yang kebetulan lokasinya dekat rumah kontrakannya. Untuk sarana transportasi, dia memanfaatkan sepeda motor bebek tua. Susah membayangkan, bagaimana mengasuh dua anak (waktu itu) sembari berdagang.
Di tengah kesibukannya mengurus keluarga, Septi yang memang selalu dahaga ilmu, nyaris setiap ada waktu luang, ia manfaatkan melahap berbagai buku. Sambil momong dua anaknya, dirinya ngotak ngatik pelajaran yang menjadi momok tiap siswa di sekolah. Apa lagi bila bukan matematika. Melalui berulangkali percobaan selama berbulan- bulan, akhirnya Septi menemukan metode Jarimatika. Cara inilah yang diterapkan pada Enes dan Ara yang masih balita, hasilnya ? Menakjubkan. Dua anak tersebut mencintai matematika.