Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salatiga Kota Peduli HAM, Bagaimana Implementasinya ?

18 Desember 2015   17:40 Diperbarui: 18 Desember 2015   17:40 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pluralisme di Salatiga

Untuk mengupas hak hidup, rasanya terlalu banyak yang harus disigi, sebab, nyaris semua sisi kehidupan layak dipelototi. Kendati begitu, saya merasakan selama ini tak ada yang mengusik kehidupan warga Kota Salatiga. Baik kehidupan beragama, berekspresi hingga mencari nafkah. Sepertinya sudah sepantasnya Salatiga mendapat label kota peduli HAM.

Poin kedua yakni hak mengembangkan diri, saya pikir hak ini memang milik seluruh warga. Sehingga eksistensi mereka di berbagai bidang tak pernah menemui hambatan. Kompetisi individu secara sehat sudah berjalan lama di Salatiga. Sejak jaman kemerdekaan, Salatiga mampu menjunjung tinggi pluralisme. Perbedaan yang ada di masyarakat, terbukti tidak bisa memecah belah.

Hak atas kesejahteraan bagi warga Kota Salatiga, sepertinya tak jauh berbeda bila disbanding dengan kota lainnya. Kesejahteraan yang normatif telah dinikmati warga sejak puluhan tahun yang lalu, tak peduli siapa pun pemimpinnya, masyarakat merasa menikmati tingkat sejahteranya kendati terkadang ada ketimpangan.

[caption caption="Mahasiswa asal Papua saat akan gelar ritual bakar batu (foto: bamset)"]

[/caption]

Sedang hak rasa aman, kiranya tak jauh- jauh amat dengan poin pertama yakni hak hidup. Seperti yang saya kupas di atas, program Safe House 110 sampai sejauh ini masih dianggap mampu memberikan proteksi terhadap warga. Namun, bila hak rasa aman diterjemahkan secara luas, maka akan meliputi berbagai sendi kehidupan. Di sini saya sedikit memberikan contoh tentang kehidupan beragama di Salatiga dan keberadaan para perantau asal luar pulau Jawa.

Di Kota Salatiga, yang 75 persen penduduknya beragama Muslim, ternyata tak pernah terjadi benturan antar umat beragama. Padahal, di kota ini terdapat (sekarang) sekitar 80 an gereja. Tiap perayaan Natal, lapangan Pancasila yang di hari raya Idhul Fitri dipergunakan untuk sholat Ied, secara bergantian tanggal 25 Desember dimanfaatkan guna menggelar kebaktian Natal bersama. Ritual tersebut sudah berjalan puluhan tahun dan belum sekali pun menimbulkan gesekan.

[caption caption="Kebaktian Natal bersama di lapangan Pancasila (foto: bamset)"]

[/caption]

Begitu pun dengan keberadaan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang memiliki puluhan ribu mahasiswa, konsekuensi logisnya, banyak mahasiswa pendatang dari luar Jawa yang tercatat sebagai mahasiswanya. Berdasarkan catatan, terdapat 23 suku yang berdiam di Kota Salatiga. Sepanjang yang saya ingat, belum pernah terjadi benturan di kalangan pendatang. Mereka berbaur dan mampu beradaptasi.

[caption caption="Salah satu contoh kebebasan berekspresi di Salatiga (foto: bamset)"]

[/caption]

Keramahan masyarakat Kota Salatiga, terkadang menimbulkan salah persepsi. Sehingga ada satu dua oknum yang nekad melecehkannya. Salah satunya adalah anak- anak muda pengelola majalah kampus Lentera, dengan entengnya mereka memberikan stempel Salatiga sebagai Kota Merah. Giliran muncul aksi- aksi yang menentangnya secara elegan, blingsatan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun