Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melongok Bank Sampah Makmur di Salatiga

1 Desember 2015   17:07 Diperbarui: 2 Desember 2015   17:07 1607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gito berbincang dengan Crist di kebun pembibitan sayurnya (foto:bamset)"][/caption]Setelah cukup lama memendam keinginan melongok keberadaan Bank Sampah Makmur di Ngampel RT 03 RW 04, Blotongan, Sidorejo, Kota Salatiga,  Selasa (1/12) sore, akhirnya terealisasi juga. Banyak hal yang bisa dipetik dari inovasi- inovasi yang dilakukan Gito (56) selaku pendirinya. Berikut catatannya.

Gito yang sehari- harinya bekerja sebagai tukang sampah di Perumahan Dliko Indah, sejak tiga tahun lalu merintis pendirian Bank Sampah yang oleh anggotanya disepakati bernama Makmur. Bukan suatu hal yang mudah untuk memberikan edukasi terhadap lingkungannya agar menyadari bahwa sampah bila ditangani secara baik bakal mendatangkan manfaat yang besar.

Pada awalnya, Gito bergerak sendirian, dari mulai mengumpulkan sampah, memilah hingga membuatnya jadi barang yang lebih bermanfaat. Perlahan tapi pasti, dukungan warga setempat berdatangan. Melihat sepak terjang lulusan bangku SMP tersebut, warga tersadar bahwa apa yang dilakukan Gito sebenarnya sangat berarti untuk kelangsungan hidup lingkungan. Akhirnya, sejak tiga tahun lalu terbentuk Bank Sampah Makmur dan Gito terpilih sebagai ketuanya.

[caption caption="Berbagai jenis sayuran yang menggunakan kompos organik (foto: bamset)"]

[/caption]Aktifitas Bank Sampah Makmur sendiri, sebenarnya belum layak disebut sebagai bank, sebab, jumlah anggotanya masih terbatas. Kendati begitu, untuk memudahkan penyebutan, maka nama bank sengaja ditempelkan. “ Warga secara suka rela menyerahkan sampahnya, terus kami yang memberikan harga dan uangnya disimpan di Bank Sampah Makmur,” kata Gito sembari memperlihatkan buku simpanan milik anggotanya.

Sampah- sampah yang disetor warga, nantinya akan dipilah. Sampah organik diolah menjadi kompos, sedang sampah plastik mau pun kardus dibuat berbagai souvenir. “ Kompos yang kami hasilkan selanjutnya kami realisasikan menjadi tanaman buah dan sayuran dalam pot,” kata Gito saat memperlihatkan kebun pembibitannya.

[caption caption="Berbagai souvenir yang terbuat dari limbah (foto: bamset)"]

[/caption]Hutang Rp 10 Juta

Kepedulian Gito terhadap pengelolaan sampah menjadi sesuatu yang berharga, membuat dirinya lupa diri tentang kondisi ekonominya yang ngos- ngosan. Di mana, dengan penghasilan sebagai tukang sampah yang hanya sebesar Rp 750 ribu perbulan, ditambah beban dua anak yang masih sekolah, ia ngotot mendirikan Bank Sampah Makmur. Setelah berhitung, paling tidak dia membutuhkan dana sekitar Rp 10 juta.

Dana Rp 10 juta tersebut untuk membenahi administrasi Rp 3 juta, penyediaan berbagai sarana Rp 5 juta dan sisanya digunakan sebagai dana opersional. Karena memang tak mempunyai uang sebanyak itu, tanpa berfikir panjang, Gito nekad mengajukan pinjaman ke Bank Jateng. “ Dengan jaminan sertipikat rumah, saya mendapatkan kredit Rp 10 juta, tapi dipotong administrasi Rp 700 ribu,” ungkapnya.

Baru beberapa bulan berjalan, pengepul limbah plastik dan kardus langganannya, ternyata berbuat nakal. Barang dagangan senilai Rp 2 juta dikemplang sehingga dana yang seharusnya untuk operasional jadi terhenti. Kendati begitu, Gito tak putus asa. Didukung warga lainnya, Bank Sampah Makmur tetap berjalan walau dana operasional Rp 0. “ Saya mau lapor polisi, tapi melihat kondisi ekonomi orangnya jadi tidak tega,” jelas Gito.

[caption caption="Pengolah limbah plastik jadi BBM (foto: bamset)"]

[/caption]Sempat terpuruk, akhirnya perlahan Bank Sampah Makmur bangkit kembali. Berbagai limbah yang tak mungkin diurai, dibuat menjadi aneka souvenir yang dipajang di galery berukuran 4 X 6 meter. “ Pembuatan souvenir- souvenir ini mau pun kebun percontohan sering dikunjungi anak- anak sekolah, mahasiswa dan pejabat,” ujarnya.

Dari segala sepak terjangnya tersebut, Gito berhasil mengantarkan Bank sampah Makmur menjadi juara di berbagai lomba. Ironisnya, pada lomba lingkungan hidup tentang daur ulang sampah yang berhadiah Rp 2 juta, kelompoknya menyabet juara 1. Namun, hingga saat ini uang Rp 2 juta itu belum diterimanya karena pihak panitia berdalih anggarannya belum ada. Padahal, penyelenggaranya merupakan instansi pemerintah daerah. Aneh, berani mengadakan lomba kok anggarannya kosong.

Minim Perhatian Pemkot

Pada saat saya bertandang ke Bank Sampah Makmur, kebetulan ada seorang pemuda Salatiga bernama Christ yang tengah kuliah di Jerman. Ia sengaja menemui Gito untuk berbincang lebih jauh mengenai segala aktifitasnya. Di sini saya sempat menanyakan sejauh mana perhatian pihak pemerintah kota (Pemkot) Salatiga ?

“Kalau pejabat berkunjung ke sini sering, termasuk pak Walikota Salatiga Yulianto SE MM, tetapi kalau perhatian yang dimaksud berupa bantuan, sampai sekarang belum ada. Mereka hanya datang meninjau, manggut-manggut, foto-foto, pamitan dan tak ada kabarnya lagi,” aku Gito tanpa bermaksud mengeluh.

[caption caption="Buku tabungan anggota Bank Sampah Makmur (foto: bamset)"]

[/caption]Lebih jauh Gito mengakui, dulu pihaknya sempat mengajukan permohonan bantuan ke Pemkot. Karena kendaraan roda tiga (Tosa) sangat dibutuhkan guna mendukungan pengambilan sampah, maka proposal yang diajukan juga terkait hal tersebut. Persoalannya, bila Bank Sampah Makmur mempunyai Tosa, sangat dimungkinkan areal pengambilan sampah bisa diperluas.

Setelah proposal diserahkan pada instansi terkait, seraya berharap cemas, Gito sempat bermimpi kendaraan roda tiga itu direalisasi. Tetapi, ternyata hingga sekarang ini, apa yang ia impikan tak pernah terwujut. Padahal, harga kendaraan sejenis hanya kisaran Rp 21 juta. Entah kenapa pihak Pemkot Salatiga mengabaikannya. “ Kalau ada kendaraan itu, saya bisa mengambil sampah di asrama IAIN yang berjarak lima kilometer dari sini,” tuturnya.

[caption caption="Penunjuk arah menuju unit- unit Bank Sampah Makmur (foto:bamset) "]

[/caption]Sebagai warga Salatiga, saya pribadi merasa terheran- heran dengan sikap Pemkot setempat. Dengan produksi sampah yang mencapai 100 ton perhari, harusnya pihak Pemkot mengapresiasi langkah Gito. Namun, faktanya belum ada langkah kongrit dalam membantu kelangsungan hidup Bank sampah Makmur yang dikelola Gito.

Apa yang dilakukan Gito, sebenarnya mampu menginspirasi warga ibu kota Jakarta yang para pemangku kebijakannya tengah dipusingkan dengan pengelolaan sampah. Andai di setiap kelurahan di DKI terdapat satu bank sampah saja, mungkin Gubernurnya tidak lagi direcoki masalah sampah. Demikian pula daerah lainnya, langkah Gito kiranya juga mampu membangkitkan semangat pengelolaan sampah secara mandiri. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun