[caption caption="Salah satu lapak kami di jalan Kartini (foto: dok pribadi)"][/caption]
Saat nilai tukar rupiah terhadap dollar semakin melemah, tak pelak lagi, hantu pemutusan hubungan kerja (PHK) terus membayangi jutaan buruh pabrik di negeri ini. Apa yang membuat mereka takut Bagi saya dan keluarga, PHK malah membuat kami semakin perkasa.
Saya masih ingat jelas peristiwa tahun 1998, sebelum Soeharto sebagai Presiden RI kedua lengser dari kursi kekuasaan yang didudukinya selama 32 tahun. Nilai tukar rupiah terhadap dollar benar- benar terpuruk, berbagai kiat dijalankan oleh para pembantu Soeharto, hasilnya nol besar. Imbasnya, terjadi PHK dan aksi unjuk rasa missal hingga berujung lepasnya kekuasaan sang Jendral besar tersebut.
Sebelum Soeharto digilas jaman, saya bekerja di salah satu perusahaan swasta yang tak begitu bonafit. Situasi perusahaan yang megap- megap sudah saya rasakan ketika tahun baru menginjak 1998. Ekspektasi yang teramat berlebihan atas pergantian tahun,ternyata dipatahkan oleh fakta. Kondisi perekonomian nasional bertambah carut marut tak karuan.
Naluri saya mengatakan, PHK akan menimpa diri saya. Cepat atau lambat, gilirannya bakal tiba. Untuk itu, saya menggelar “rapat” terbatas dengan ibunya anak- anak. Kesimpulannya, kami harus menyiapkan diri supaya tidak terlalu mengandalkan upah perusahaan yang bahasa kerennya disebut gaji. Kami perlu berinovasi, sehingga ketika PHK mendera, kami tak terkaget- kaget lagi.
Ibarat dalam pertempuran, kami mulai menyiapkan amunisi. Mental dan fisik kami siapkan, setidaknya untuk mengantisipasi cibiran tetangga yang kadang ikut menari saat tetangga lainnya didera kesusahan. Begitu pula anak- anak yang waktu itu masih duduk di bangku SD, kami beri pengertian tentang sisi negatif jajan di sekolah yang tentunya kurang higienis. Alhamdulillah hal tersebut bisa diterima.
Menciptakan Lapangan Kerja
Menjaga agar dapur tetap mengepul, ibunya anak- anak mulai ikut bergerak. Ia menerima jahitan pakaian wanita, dirinya memang bisa menjahit meski hanya sekedarnya. Hingga bulan April 1998, saat yang ditunggu- tunggu tiba juga. Saya dikumpulkan bersama karyawan perusahaan lainnya. Setelah ada penjelasan tentang situasi keuangan, karyawan diminta memilih. Dipindah ke luar Jawa atau PHK tanpa pesangon apa pun ?
Demi mendengar tawaran tersebut, saya orang pertama yang mengacungkan jari telunjuk. Saya menerima tawaran PHK tanpa embel- embel apa pun. Saya sangat sadar diri, saya punya hak atas pesangon dan berbagai kompensasi lainnya. Namun, di sisi sebaliknya, saya juga mengetahui kemampuan perusahaan telah mencapai titik nadir. Sia- sia saja saya menuntutnya.
Pulang ke rumah, ibunya anak- anak saya beri kabar bahwa mulai besok, suaminya sudah tak perlu repot- repot bangun pagi. Tetapi, bulan depan juga tidak usah berharap soal gaji. Mendengar laporan saya, perempuan berjilbab tersebut hanya tersenyum sarat makna. Sejak hari itu, saya memulai hidup baru dan profesi anyar, yakni pengangguran. Tiga hari kemudian, pas KTP saya habis, saat perpanjangan, kolom pekerjaan yang sebelumnya tercatat sebagai “karyawan swasta”, langsung saya ganti jadi Buruh Harian Lepas.
Hampir sebulan penuh saya benar- benar menikmati hidup, aktifitas sehari- hari hanya Ternak Teri (Nganter anak nganter istri). Sampai suatu hari, ketika melewati jalan Kartini Kota Salatiga, saya melihat pohon mahoni tua. Di bawah pohon tersebut, terasa sejuk saat sinar matahari menyengat. Mendadak, timbul inspirasi. Kenapa lokasi ini tak saya manfaatkan untuk berdagang es saja ?