Apa pun implementasinya di lapangan, yang jelas putusan MK bersifat final dan mengikat. Sebagai orang yang awam hukum, saya tak tertarik menelisik dalil- dalil yang disodorkan Yusril Ihza Mahendra mau pun dalil yang dipergunakan para hakim untuk memperkuat keputusannya. Dalam hal ini, saya lebih tertarik pada kondisi riil di Pilkada.
Dalam Pilkada, khususnya di tingkat Kabupaten/Kota, aroma money politik pasti terasa menyengat. Siapa lagi yang mampu bermain selain politisi korup ? Bila sebelumnya para bekas koruptor yang sudah dibui ikut terberangus “syahwat” politiknya secara permanen, maka, dengan adanya putusan MK bernomor 42/PUU-XIII/2015, tak pelak lagi bakal membuat mereka kembali bergairah untuk terjun di ranah politik kembali.
Yang namanya Napi, pastinya beragam jenis kejahatannya. Meski begitu, para bekas Napi pencurian, penipuan,perampokan, narkoba, terorisme hingga pembunuhan pun, praktis tak bakal mempunyai niat untuk bertarung di ajang Pilkada. Satu- satunya bekas pesakitan yang masih mempunyai libido menjadi kepala daerah, hanya bekas Napi korupsi. Celakanya, di Indonesia, tersangka korupsi mayoritas erat kaitannya dengan politik.
Kolaborasi koruptor dengan kepiawaiannya bermain politik inilah yang bakal membuka peluang bahwa kita nantinya tak perlu kaget bila suatu saat nanti akan dipimpin mantan koruptor. Konsekuensinya, tidak usah terkaget- kaget semisal Bupati atau Walikota kembali mengulangi perbuatannya menjarah APBD untuk mengembalikan investasi yang telah dibenamkan di Pilkada. (*)
Sumber : detik.com/mk-putuskan-bekas-narapidana-bisa-ikut-pilkada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H