Aku sebenarnya agak trauma mendengar raungan sirine ambulans, suara itu membangkitkan kenangan. Mengingatkanku pada 36 tahun yang lalu, suara raungan sirine itu menjadi suara yang sangat pilu, ketika kami mengantarkan jenazah ayahku dari Bandara Jakarta menuju Tasikmalaya untuk dimakamkan.Â
Dari Jakarta ke Bandung, dan akhirnya sampai di Tasikmalaya aku, ibuku, kakak dan adikku berada di satu ambulans bersama jenazah almarhum ayahku. Dan sirine ambulans meraung-raung sepanjang jalan pada waktu itu, 15 Februari 1985 lalu.
Mereka akan menjadi voorijder. Suara sirine motor pun berbunyi diikuti suara sirine ambulans yang meraung-raung keras mengiris kalbuku. Terus terang rasanya seperti mimpi, aku tercekat, ingin menangis.Â
Oh, ternyata begini rasanya di dalam bus sekolah yang selama ini sering kulihat melaju kencang di jalanan Jakarta membawa orang-orang yang terpapar Covid-19 ke pusat kesehatan atau rumah sakit.
Ambulans dan bus sekolah melaju sangat kencang, barisan pohon-pohon dan tiang listrik di sisi kanan dan kiri jalan seolah-olah berlarian dan berlesatan seperti berlomba lari, menciptakan bayangan yang asing dan ganjil.
Saking cepatnya perjalanan Pancoran, Jakarta Selatan, ke Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, hanya ditempuh 30 menit, padahal jalanan Jakarta di sore itu sangatlah macet. Itu kenapa ada motor pengawal perjalanan yang ditugaskan mengawal ambulans dan bus kami.
Pukul 17.00. Aku benar-benar takjub memandang ke arah tower-tower Wisma Atlet yang begitu menjulang tinggi dan tampak muram di mataku. Kini aku benar-benar melihat bentuk dan sosok kompleks Wisma Atlet yang selama ini hanya kulihat di layar televisi.
Bersambung ke Catatan Bagian Ketiga (Nantikan...)