Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wahyu Maretha: Mengawasi Keculasan Pileg 2014, Butuh 1,6 Trilyun Rupiah Lebih

17 April 2014   17:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:33 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13977055341092859636

[caption id="attachment_320285" align="aligncenter" width="300" caption="Wahyu Maretha Dwiantari: C1 Plano rekam saja dengan foto dan Video. Dok Bewe"][/caption]

Menghitung kasus pileg 2014, sangat melelahkan. Terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Kerja KPU jauh dari standar. Lembga penyelenggara pemilu kali ini bahkan memiliki predikat pemecah rekor amboradul. Wahyu Maretha Dwiantari melempar solusi untuk pilpres Juli 2014, dan pemilu 2019.

ILUSTRASI KECIL: diduga kuat, terjadi penggelembungan suara untuk salah satu parpol, pada pileg 2014 di Desa Watusigar dan Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Gunungkidul. Kecurigaan itu menurut pengamat politik segmen perempuan Wahyu Maretha Dwiantari adalah sangat berlebihan. Pileg 2014tak cukup dengan dicurigai, melainkan harus dikawal dengan solusi teknologi sederhana.

Kecurigaan sebagaimana tersebut di atas memaksa PPK setempat membongkar 26kotak suara. Pada proses periksa ulang data, PPK salah dalam memahami peraturan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui kadernya mempertanyakan kemampuan PPK.

PPK Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, bekerja super keras, membongkar 14 kotak suara untuk Desa Watusigar dan 12 kotak suara untuk Desa Beji, guna mencocokan data yang ada pada C1 plano dan C1 folio, Selsa 15/4/2014 lalu.

Data perolehan suara DPR RI untuk Partai Nasdem Caleg No. Urut 1 pada Plano C1 tertulis memperoleh suara 1. Sontak salah satu saksi interupsi, karena yang tertulis di C1 folio adalah caleg no urut 2. Dan PPK pun membuka C1 folio berhologram. Ternyata benar, caleg no. urut 2 memperoleh angka suara 1. Plano C1 diralat disesuaikan dengan C1 folio berhologram.

Sakti (26), warga Lempongsari, Monumen Jogja Kembali, Sleman, Yogyakarta, salah satu kader PKS mendekati Budi Haryanto, selaku Panwaskab Gunungkidul. Dia memprotes, ketidakpahaman PPK dalam membaca ulang data dari PPS. Menurut Sakti, data primairnya adalah C1 plano.

Mustinya, menurut Sakti, C1 plano, tidak boleh diubah. Alasannya, C1 plano adalah data primair. Apa yang tertulis di C1 plano, diisi saat penghitungan suara dilakukan. Dan itu disaksikan sejumlah saksi. Menurut Sakti, kemungkinan salah adalah kecil. Sementara C1 hologram itu adalah pindahan dari C1 plano, yang hanya dikerjakan oleh salah satu petugas PPS.

Wahyu Maretha Dwiantari, anggota pengamat politik segmen perempuan menilai, kekisruhan sepertidi Watusigar dan Beji, Kecamatan ngawen, mustinya tidak perlu terjadi. Kalau toh terlanjur seperti sekarang ini, dengan dukungan teknologi sederhana. Menurut Maretha,C1 plano bisa diduplikasi dalam bentuk foto ataupun video.

Para saksi yang ditugaskan di masing-masing TPS harus siap menyimpan C1 plano dalam bentuk rekaman. Mereka, tak cukup mengandalkan C1 folio. Dengan dukungan teknologi rekaman, Maretha yakin, manipulasi data, dalam bentuk apa pun akan sulit dilakukan. “Ini bukan teori doang,” kata Maretha, “hal itu bisa dipraktekkan pada pilpres Juli 2014, termasuk untuk pemilu 2019 mendatang.”

Sejauh mana para saksi parpol menguasai teknologi sederhana, sebagaimana ditunjuk Maretha, adalah pekerjaan rumah, bagi petinggi parpol. Selebihnya, kalau negra ikhlas berbuat jujur, setiap TPS harus ada PPL. Bukan seperti sekarang, satu desa hanya ada dua atau 3 PPL.Pesta demokrasi ongkosnya memang mahal. Dan itu,mau tak mau harus dibayar.

Hitung saja seluruh Indonesia ada 545.776 TPS. Sesuai ide Maretha, jumlah PPL dikalikan Rp 500.000,00 dalam 6 bulan kerja, ongkos pengawasan lapangan ketemu Rp1.637.328.000.000,00

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun