Sebagian kecil kekuasaan Sang Pencipta menitis pada kuncup bunga matahari. Pagi buta, dipastikan menghadap ke timur menyongsong terbitnya mentari, siang tegak lurus, senja menoleh ke ufuk barat, ke arah sang surya terbenam.
“Keajaiban seperti itu hanya diperlihatkan oleh kuncup pokok (bukan cabang) yang belum mekar penuh. Bunga utama yang 100% telah mengembang, apalagi biji mulai berisi, perilaku serupa itu tidak terjadi,” papar Ngadidjo, petani aneka tanaman hias dan sayuran, warga padukuhan Ngasemayu, desa Salam kecamatan Patuk, Sabtu 14/1/2017.
Diminta menjelaskan mengapa bunga yang telah mekar penuh kehilangan potensi mengikuti pergerakan matahari, dia berkelit, meski akhirnya lelaki yang mengaku alumni SMA Trisakti ini mencoba membeberkan kemungkinan. Tetapi menurutnya, perkiraan itu bisa benar bisa sebakiknya.
“Saya bukan ahli botani, secara teknis saya tidak mimiliki kemampuan untuk menjelaskan hal itu. Ada kemungkinan, bunga matahari yang telah mekar penuh tidak mampu menoleh ke barat dan timur, lantaran tangkai tak kuat membawa beban bunga dan biji yang besarnya hampir selebar cawan,” ujar dia menerka-nerka.
Kecintaanya pada tanaman hias, sayuran dan tanaman obat makin menjadi-jadi setelah dia berselancar di perpustaan langit. Ada banyak pengetahuan yang harus dia bagi mulai dari daun pegagan, buah okra hingga durian sintetis dan teko lemah terbuat dari bathok kelapa sisa bajing (tupai).
Ngadidjo menurut cerita Sugiyarto alias Cobok tetangganya, adalah satu-satunya pionir di kecamatan Patuk yang kesasar di dunia pertanian dan tidak pernah ngidam penghargaan.
“NGobrolan Mas Ngadidjo memang enak. Dia punya segudang pengalaman dalam bertani di dalam polybag, yang belakangan ini banyak diburu oleh sejumlah wisatawan domestik,” ujar Giyarto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H