Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Silakan Pilih: Negara, Atau Bibir Kita yang Harus Diruwat

15 Januari 2014   14:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:49 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13897718371709760864

[caption id="attachment_306147" align="aligncenter" width="281" caption="Bhatara Kala. Ft in FB"][/caption]

BAHWA RUWATAN itu adalah Ilmu komunikasi, tidak setiap orang paham, termauk orang Jawa. Membuka sejumlah referen, ruwatan selalu dimaknai sebagi upacara adat Jawa. Saya berseberangan dengan interpretasi seperti itu. Saya berkeyakinan, RUWATAN adalah simbol komunikasi: kesalinghubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Maha Gaib.

Masyarakat melakukan ruwatan, karena ketakutan terhadap datangnya bahaya yang dikongkritkan dalam wujud ancaman Bethara Kala. Oke, Bethara Kala tidak masalah. Tetapi menurut saya, Bethara Kala itu tidak lain adalah bidang gelap dalam proses interaksi antara manusia, alam, dan sang pencipta.

Saya menaruh hormat kepada leluhur yang memberikan wasiat, ada 9 (sembilan) kategori manusia yang harus diruwat. Pertama bocah ontang-anting. Anak lahir tunggal, laki-laki. Kedua, ontang-onting. Anak lahir tunggal berjenis perempuan. Ketiga, bocah kembang sepasang. Anak lahir kembar. Keempat, bocah sendang kapit pancuran, Anak tiga, perempuan pada posisi lahir kedua. Berlaku pula pancuran kapit sendang. Kelima bocah uger-uger lawang. Dua anak laki semua. Keenam, bocah pendawa. Anak lima laki semua. Ketujuh, bocah kedana kedini. Dua anak, laki perempuan, dan atau sbaliknya. Kedelapan, bocah gondhang kasih. Dua anak berbeda kulit, satu kulit gelap satu kulit cerah. Kesembilan, bocah dampit. Dua anak , laki perempuan, lahir dalam sewaktu.

Agar selamat dunia selamat akherat, oleh adat disarankan, anak yang tergolong dalam sembilan kategori di atas untuk diruwat. Terus terang saya tidak tertarik pada rangkaian sesaji yang biasanya dipersiapkan untuk kelengkapan upacara, meski di dalam setiap elemen sesaji itu mengandung makna yang luar biasa dalam.

Saya pilih mengupas satu kegiatan puncak dalam ruwatan, yaitu prosesi potong rambut. Mengapa rambut harus dipotong? Dan mengapa tidak bagian tubuh yang lain? Rambut, pada umumnya berwarna hitam, meski juga ada kekecualian. Tetapi mustahil dipungkiiri, hitam adalah warna gelap. Di sinilah ketemunya esensi ruwatan.

Bagian tubuh manusia yang dipotong tanpa terasa sakit hanya ada dua, rambut dan kuku. Mengapa dalam ruwatan tidak kuku yang dipotong? Rambut wewakili simbol kegelapan. Dalam jagat pasrawungan, manusia dihadapkan pada bidang gelap bernama komunikasi. Lalulintas komunikasi antar manusia, komunikasi dengan alam, dan komunikasi dengan Tuhan. Salah komunikasi, semua bisa berantakan.

Upacara potong rambut di dalam ruwatan mengandung pesan, harap berhati-hati, ketika Anda melakukan proses interaksi dengan sesama, dengan alam juga dengan Tuhan. Perhatikan misalnya pola komuniasi Anas Urbaningrung dengan SBY. Cermati tingkah komunikasi para politisi lain yang nyaris carut marut. Sudah paham kalau Ahok itu keturunan, masih pula dicina-cinakan. Telalu jelas kalau Bang Boni itu berkulit gelap, teganya memanggil dia dengan sebutan si itam legam.

Banyak yang paham bahwa cadangan minyak, gas dan kekayaan bumi yang lain di Indonesia ini sangat terbatas, masih berlanjut juga perampasan dan penggarongan secara kolektif. Bahkan penjarahan ini hampir menjadi kebiasaan. Patut diduga ini kolektif kolegial. Ini fakta tak terbantah, hubungan antara manusia dengan alam, sangat tidak terkendali.

Yang dengan Tuhan bagaimana? Makin remuk. Tak ada sopan, apa lagi unggah-ungguh. Orang nomor satu di Partai berbendera Agama, malu menjadi lintah darat, tetapi begitu tega menipu Tuhan, dengan cara berdagang buntut sapi.

Kembali ke ruwatan dan inisiasi potong rambut. ini upaya katarsis (pembersihan diri) bukan semata untuk 9 kategaori manusia sebagaimana disyaratakan dalam terminologi Jawa. Catatan spesifik, Ruwatan perlu dilakukan oleh kita semua. Apakah tulisan ini menyakiti Anda? Mohon maaf, kalau Anda tersinggung, saya harus instrospeksi. Saya masih harus belajar meruwat pena yang saya gunakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun