Cukup lama Soeharto memperhatikan sepak terjang komunis (PKI) di Indonesia. Kosep NASAKOM yang digagas Presiden Soekarno menjadi catatan khusus bagi Jendral yang murah senyum ini. Menurutnya, Komunis bisa membahayakan Pancasila, tetapi Bung Karno berseberangan.
“Itu sudah saya ketahui sejak tahun 1958, pada waktu saya menjadi Panglima Devisi Diponegoro,” tutur Soeharto sembari memegang mikrophone dengan senyuman yang khas.
Kepada Presiden Soekarno dia mengajukan pertanyaan, “Pak di Jawa Tengah PKI itu menang. Apakah tidak membahayaken Pancasila?”
Jawaban Presiden kala itu menurut Soeharto sangat tidak memuaskan. “Kenyataan PKI mendapat dukungan rakyat, maka kekuatannya harus kita perhitungkan,” demikian Soeharto menirukan jawaban Presiden kala itu.
Menurut Soeharto, Presiden Soekarno akan memperjuangkan agar PKI bisa berubah menjajadi PKI yang berjiwa Pancasila. Dengan rasa tak percaya Soeharto bertanya, “Apa mungkin Pak?”
Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno dengan tegas menjawab, “Ini perjuangane Bapakmu, Serahkan pada saya, kamu gak usah ikut-ikut.”
Dari jawaban sesimpel itu, Soeharto bisa menangkap dan merasakan, bahwa Presiden Soekarno tidak akan menghilangkan PKI, apalagi membubarkan.
Konsep NASAKOM, kata Soeharto sembari terus mengumbar senyum, sedemikian kuat diperjuangkan oleh Bung Karno, tidak hanya di dalam negri, tetapi juga ke luar negri melalui forum PBB.
Kecurigaan Soeharto di tahun 1958, meledak tujuh tahun kemudian, yakni pada peristiwa prembrontakan G 30 S PKI 1965. Ketika diminta ikut menguasai keadaan, Soeharto setengah mengingatkan, bahwa di tahun 1958 PKI telah dibilang sangat membahayakan Pancasila.
Peristiwa telah terjadi, dan tujuh Jendral gugur di tengah keganasan PKI. Dalam hal ini Soeharto heran, karena kematian para jendral hanya dianggap sebagai sebuah riak kecil.
“Ah mosok matinya para jendral satu hal yang kecil. Baiklah, tetapi bagi saya yang penting bukan jendralnya. Tetapi PKI benar-benar telah mengancam Pancasila,” demikian tutur Soeharto menahan diri sekaligus memberontak.