[caption id="attachment_321746" align="aligncenter" width="300" caption="Gunungan serpihan religiusitas. dok bewe"][/caption]
Gunungikul, secara administratif terbagai dalam 18 kecamatan, 144 desa dan 1.431 pedukuhan. Setiap pedukuhan, melestarikan budaya ‘bersih dusun’. Ada peragaan unik, masyarakat membuat tumpeng dan atau gunungan, kemudian diarak keliling dusun. Dari prespektif religi, kirab gunungan adalah ekspresi total dari stream of subconsciousness (aliran alam bawah sadar) tentang eksistensi pemilik jagat.
Pejabat setempat, terutama pemangku pariwisata, melihatnya sebagai peristiwa budaya semata. Mereka luput menilai, bahkan sangat tidak paham sama sekali, bahwa kegiatan bersih dusun sebenarnya memiliki sisi sreligius yang khas jawa.
Pelakunya, maksud saya masyarakat yang menyelenggarakan bersih dusun dengan cara mengarak gunungan pun, sebagian atau bahkan seluruhnya tidak pernah menyadari, bahwa kegiatan tersebut adalah sebuah katarsis (pencucian) jiwa.
Struktur gunungan, fisik seluruhnya adalah buah meliputi polo kependem (ubi-ubian), polo kesimpar (melon, mentimun, semangka, nanas), polo gumantung ( mangga, jambu, apel, salak, pisang, pepaya), ditambah polowijo: padi, jagung, kacang.
Hasil bumi yang dirakit menyerupai gunung, diletakkan di jodang, dipikul4 orang, diikuti bregodo (barisan) berpakaian seragam. Ada yang mengenakan uniform hijau, merah, kuning, ungu, semua serba gemebyar. Tertimpa sinar matahari, kelap-kelap.
Tak cukup dilihat gemerlapnya pakaian para pengombyong. Mengumpulkan buah puluhan bahkan ratusan jenis untuk dirakit menjadi kerucut menyerupai gunung adalah ekspresi dari apresiasi manusia atas kebesaran Sang Khlaiq.
Manusia yang terlibat dalam kegiatan mengarak gunungan, sebagian kecil menyadari, bahwa ratusan buah yang dijadikan ubo-rampe itu bukan miliknya. Di alam pikiran mereka terbersit pengakuan, bahwa seluruhnya adalah karya agung, sang pemberi hidup.
Itulah yang tersirat secara maknawi. Manusia merunduk dan merasa sangat kecil di hadapan-NYA. Mengusung karya Tuhan yang dirakit dalam bentuk gunungan, adalah cara lain masyarakat pedesaan mengucap syukur.
Memuliakan Tuhan dengan memamerkan karya rumit dan agung adalah sisi religius manusia yang tinggal di pedesaan spesifik Gunungkidul. Dan itu kongret ada di upacara bersih dusun.
Sayang, seribu sayang, religiusitas tersebut, dewasa ini tergilas oleh kepentingan pariwisata. Upacara sederhana tetapi sakral, telah dicemplungkan ke dalam kotak perdagangan. Nafas religi tersumbat (tidak menonjol), berganti alur ke kepentingan perut sesaat. Degradasi ini menarik untuk didiskusikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H