Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres 9 Juli 2014 dan Rintihan Prajurit Sugiman di Sebuah Kuburan Tua

12 Juli 2014   17:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:33 984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14051346641909911570

[caption id="attachment_333225" align="aligncenter" width="700" caption="Parjurit Sugiman berduka melihat prosesi demokrasi. Dok Bewe"][/caption]

Pahlawan yang gugur pada perang kemerdekaan jumlahnya tak terhitung. Tentara sebagai lembaga yang paling memiliki kepentingan, diyakini tidak mengantongi data tentang jumlah prajurit yang gugur.

Melacakkuburan prajurit yang tidak dikebumikan di makam pahlawan, di Gunungkidul tidak terlalu sulit. Hampir di setiap bulan Agustus, prajurit yang mati muda itu selalu meninggalkan pesan.

Jika dada rasa hampa, dan jam dinding yang berdetak, kami bicara padamu dalam hening di malam sepi. Kami mati muda, tinggal tulang diliputi debu.”

Eloknya, suara itu menggemuruhdi setiap malam 17 Agustus, lewat pusisi saduran penyair Angkatan 45, Chairil Anwar.

Monologprajurit mati muda itu sepertinya menyindir apa yang sedang dilakukan para pemimpin bangsa. Yang paling dekat, adalah sindiran sejumlah keanehan yang terjadi pada pilpres 9 Juli 2014.

Kami sudah coba apa yang kami bisa. Kami sudah beri, kami punya jiwa. Tapi kerja belum selesai. Belum apa-apa. Kami tidak bisa beri arti 4-5 ribu nyawa. Kami Cuma tulang-tulang berserakan.”

Area pekuburan prajurit, dalam sajak Cahiril memang dipersempit, “Kami yang kini terbaring antara Kerawang-Bekasi. Tidak bisa teriak merdeka dan angkat senjata lagi.”

Tetapi pada dasarnya itu adalah pekik universal roh para prajurit yang tak keruankuburannya. Manakala para pemimpin, juga elemen bangsa ini keliru melangkah, mereka pun masih bisa merintih.

Jangan dikira prajurit mati muda itu mati. Mereka hidup dan cermat mengamati polah tingkah para pelaku sejarah.

Mengamati bagaimana Megawati berseteru dengan SBY. Melihat Megawati pernah rukun dengan Prabowo tetapi tiba-tiba berpisah. Menyimak Prabowo mengelak saat Jokowi mencipiki-cipika. Menilai Jusuf Kalla yang sulit membuka kran komunikasi dengan kubu Prabowo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun