Partai politik kelembagaannya seperti warung makan. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) hanya pajangan . Tabiat petinggi partai pemegang roda pemerintahan, banyak yang bertingkah aneh. Akibatnya, publik yang secara organisatoris tidak ada urusan politik, terpancing ‘mengolok-olok’ rumah tangganya.
Kurang hati-hati, bergabung ke salah satu parpol di Indonesia, bisa bernasib seperti politisi PKB, Lili Wahid dan Effendi Choirei. Petinggi parpol warisan Abdul Rahman Wahid ini, sedemikian mudah mencopot keduanya, tanpa ada ruang pembelaan.Politisi Golkar Bambang Soesatyo menyebut, itu bentuk arogansi yang menyedihkan.
Menyusul politisi Partai Demokrat Gede Pasek Suardika. Dengan alasan melanggar kode etik dan pkata integritas melalui surat bernomor 01/EXT/DPP.PD/1/2014, Pasek ditendang dari lingkungan partai berlambang mercy, juga tanpa ruang pembelaan.
Saya ada sedikit pengalaman mengikuti oraganisasai Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) DIY 1995-2005. Ir Bambang Waskito (almarhum) Ketua RAPI DIY mirip Lili Wahid dan Effendi Choirei, juga Gede Pasek Suardika, dipecat oleh Pengurus Pusat, tanpa ada kesempatan, yang bersangkutan untuk membela diri. Padhal dalam AD/ART diatur jelas, anggota RAPI yang dijatuhi sanksi, diberi ruang untuk membela diri. JZ 12 ABV, Ir Bambang Waskito, diperlakukan seperti tiga politisi di atas.
Saya pikir, di AD/ARTnya, seluruh parpol mengadopsi aturan pembelaan. Tetapi saya saya tidak tahu persis apa Demokrat meniadakan item itu, saya tidak tahu. Saya bukan anggota parpol manapun. Dan saya juga tidak ada kepentingan membela Gede Pasek seperti Bambang Soesatyo dkk atau yang lainnya. Saya cuma tergelitik berkomentar, ternyata institusi parpol saat ini amat bergantung pada pribadi pemilik partai.
Siapa berani nantang Partai Demokrat? Secara inklusif ini milik SBY. Kekuasaan saat ini lagi berada di tangan Syarief Hassan dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas). Bukan sesuatu yang aneh ketika Marzuki Ali memberi saran kepada Gede Pasek untuk tidak usah melawan.
Partai politik, melihat pola sekaligus perilaku PKB dan Demokrat, tidak lebih dari sebuah warung makan, yang karyawan, menu sajian, serta setting ruangan termasuk asesorisnya, mutlak ditentukan oleh owner.
Politisi yang menjadi anggota DPR, DPRD I, DPRD II, menurut versi PKB dan Demokrat harus siap direcal sewaktu-waktu, tanpa perlu banyak ulah. Pertanayaan sederhana: sebelum masuk ke gedung legeslatif, politisi itu oleh partai dijual kepada pemilih untuk dibeli (baca: didukung).
Banyak politisi yang ‘ngantukan’ (mudah tidur), tetapi tidak sedikit politisi yang vokal. Tetapi nasib pilitisi tidur dan politisi vokal sangat berbeda. Vokalis, eksistensinya selalu terancam. Dan kalau sudah terjadi seperti Lili Wahid, Effendi Choirei dan Gede Pasek, yang merugi adalah constituent.
Dalam konteks DPR dipilih lewat pemilu, PKB dan Demokrat, bisa disebut sebagai penghkhianat. Kedua parpol ini telah menginjak-injak kepercayaan pendukung, (meminjam istilah SBY) melebihi batas kepatutan. Partai politik, terutama PKB dan Demokrat sepertinya telah berubah menjadi PERUSAHAAN POLITIK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H