[caption caption="dua pungutan, ketahanan energi dan cukai. foto Antara"][/caption] Presiden Jokowi potensi terperosok dalam lubang pelanggaran konstitusi. Bermula dari hal mendasar: Â dia melakukan kesalahan dalam memilih orang yang secara teknis harus menyokong gagasan nawa cita.
Sebuah contoh terjadi di depan mata, Sudirman Said, Mentri ESDM berfikir dan bertindak sangat gegabah. Dia begitu berani bahkan merasa gagah, meski itu salah. Secara semena-mena dia menafsirkan sebuah UU untuk sekedar mengisi dompet pemerintah. Yusril Iza Mahendra melempar kritik pedas, tetapi Sudirman tetap berlalu.
Mentri ESDM menafsirkan UU No. 30 Tahun 2007, secara keliru dan serampangan. Â Berdalih demi penelitian dan pengembangan energi baru dan energi terbarukan, akhir Desember 2015 dia melempar bola panas bernama 'pungutan' dari hasil penjualan BBM.
Kecerobohan penafsiran itu dilakukan untuk pasal 29 dan 30. Dia menganggap di balik pikiran yang konyol pungutan Rp 200,00 untuk premium dan Rp 300,00 untuk solar adalah legal.
Payung hukum yang dipegang teguh Sudirman Said untuk membenarkan pungutan tersebut adalah Pasal 30 Ayat (3) dan (4).
Di dalam Ayat (3) dinyatakan, pengembangan dan pemanfaatan hasil penelitian tentang energi baru dan energi terbarukan dibiayai dari pendapatan negara yang berasal dari energi tak terbarukan. Kemudian Ayat (4) menyatakan, ketentuan mengenai pendanaan sebagaimana dimaksud Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam hal memahami Pasal 30 Ayat (3) Sudirman Said terlalu pikun. Di sana tidak ada istilah 'pungutan'. Ide itu tidak lebih dari improvisasi Sudirman selaku pemegang kekuasaan di kementrian ESDM. Inilah kesalahan fatal yang tak gampang dilupakan orang.
Berdasar pada pasal dan ayat yang sama, kalau pemerintah mencari dana ketahanan energi (DKE) seharus menyisihkan sebagian dari hasil penjualan energi tak terbarukan dan bukan menempelkan 'pungutan' sebagaimana improvisasi Sudirman.
Makin lucu ketika Mentri ESDM mematok angka pungutan Rp 200,00 untuk premium dan Rp 300,00 untuk solar. Angka ini musti tercantum dalam PP terlebih dahulu. Fenomena ini aneh, angka dipublikasikan sementara PP-nya belum dibuat. Tidak salah kalau publik menudig Sudirman Said menciptakan tradiri buruk.
Belakangan menyusul bakal ada kutipan baru berupa cukai BBM. Yang dijadikan landasan hukum UU No. 32 Tahun 2009.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Dirjen Bea Cukai sedang mengakaji kemungkinan penerapan cukai terhadap BBM. Lagi-lagi aneh, bahwa PP-nya juga belum ada.