Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Partai Artis Nasional Versus Partai Amanat Nasional

27 April 2014   03:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sederet seniman, maaf, yang saya maksud adalah sederet artis: Anang Hermansyah, Desy Ratnasari , Ikang Fauzi, Luki Hakim, Eko Patrio, Marissa Haque, Primus Yustisio, Gading Martin, Dwiki Darmawan,  Jeremy Thomas, ramai-ramai masuk gedung parlemen. Mereka sama-sama membawa bendera biru, namanya PARTAI ARTIS NASIONAL. Ada yang salah? Atau ada yang lucu?

Saya pikir, salah sih enggak. Lucu itu kongkret dan jelas. Kalau toh para artis itu boleh disebut seniman di bidangnya, sesungguhnya tidak terlalu salah. Sayangnya, di Indonesia, sangat jarang seorang artis sekaligus dipredikati seniman, apalagi budayawan.

Kembali ke  Anang Hermansyah dkk. Seberapapun tipis kadar kesenimanan dan kebudayaan yang mereka miliki, sebenarnya mereka akan lebih produktif kalau setia pada dunianya.  Parlemen, itu dunia lain bagi Anang cs. Cermati saja, itu Eko Patrio. Dia bisa berbuat apa untuk negeri ini berkaitan pasca mimikri menjadi politisi. Tentu berbeda jika Eko tetap bertahan pada dunia yang dia tapaki.

Tidak hanya menyebut Eko Patrio. Yang lebih senior, seperti Tantowi Yahnya, tatkala mengenakan jaket kuning, detak seni dan hiburannya stagnan, sementara prestasi politiknya kagak kelihatan. Juga Nurul Arifin, Dyah Pitaloka si O'on yang oneng itu.

Saya menduga, mereka sedang melakukan 'pengkhianatan' besar-besaran terhadap hati nurani. Menelisik jagat pakeliran, ditemukan sejumlah figur  seperti semar, petruk, gareng dan bagong, di satu sisi, di seberang lain hadir juga Togok dan Trembilung yang sabuk bandhil.

Tokoh punokawan ini tidak pernah menegasi jati diri. Eksistensi mereka demikian kongkret sebagai pamomong wiji ratu: semar dan anaknya menjaga satria lurus, sementara Togok dan adiknya mengasuh ratu sabrang yang selalu saja berjalan 'cenanangan'.

Para punakawan ini tidak pernah mimpi untuk berpindah peran menjadi ratu. Toh andaikata ada lakon ptruk dadi ratu, gareng dadi ratu, bagong dadi ratu, itu adalah sempalan cerita dalam konteks merekonstruksi sekaligus meluruskan  pemikiran para ksatria.

Pakeliran adalah jagat maya. Yang riil kita bisa tengok sejarah, sekurang-kurangnya  500 tahun silam, bersamaan runtuhnya Majapahit. Paradok batiniah antara Prabu Brawijaya dengan abdi setia Sabdo palon Noyo Genggong, adalah refleksi agama hati. Prabu Brawijaya membaca Kalimah Syahadat, sementara Sabdo Palon Noyo Genggong konsisten merasuk agama Budha (Budhi).

Raja dan abdi itupun berpisah. Sang Sabdo Palon mengucap kalimat pendek, 500 tahun ke depan, dia akan datang menumpas orang-orang tak berbudi, bersamaan meletusnya  gunung merapi.  Tahun 2006, terhitung berjarak 500 tahun dari runtuhnya Majapahit Gunung Merapi Meletus.

Sabdo Palon dan Noyo Genggong benar-benar datang mengingatkan umat manusia yang hanya pintar melafat Kalimah Syahadat, tepi tak pandai menimbang budhi. Berikut secara beruntun gempa, lumpur Lapindo, Sinabung, Abu Kelud, bahkan mungkin juga akan sampai pada muntahnya anak Krakatau.

Kehadiran Sabdo Palon dan Noyo Genggong, adalah manifestasi bahasa budi, pengejawantahan bahasa hati. Seniman, dudayawan, secara fungsional adalah penyangga bahasa budi, bahasa hati.  Kembali pada Anang dan kawan kawan.  Mereka ke Senayan menenteng leksikon politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun