Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik

MEGA-SBY Ogah Wawuh, Emoh Melepas Dendam

27 September 2016   11:59 Diperbarui: 27 September 2016   15:50 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapan mereka wawuh? ilustrasi net

Para tokoh di negeri ini mendongeng, bahwa NKRI adalah harga mati. Bhineka Tunggal Ika adalah perekat, sejak kerajaan Maja Pahit melantunkan Amukti Palapa. Tetapi aneh bin ajaib, keluarga besar yang berlindung di negeri ini ada kencenderungan, terbelah secara hitam putih.

Pengikut Soeharto yang kemudian dituding menjadi Soehartois, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berhadapan atau perang batin secara frontal dengan para Soekarnois.

Pada gilirannya, kaum reformis mengutuk habis-habisan kelakuan rezim Orde Baru yang menurut catatan sejarah, karena membuhuh hampir 4 juta orang yang tak mengerti dosa serta kesalahannya.

Pada rezim Kabinet Kerja, perang urat syaraf malah lebih dominan dan menajam. Permusuhan memuncak, anta Megawati Soekarno Putri versus Susilo Bambang Yudhoyono tak kunjung mereda.

Presiden ke 5 dan Presiden ke 6 ini sama-sama mimiliki pengaruh / pengikut yang besar. Disayangkan, dua tokoh nasional tersebut perilakunya seperti minyak dengan air. Sangat ironis, dua-duanya mematok NKRI merupakan harga mati, sementara mereka berdua sampai hari ini tidak pernah akur.

Ada kebencian di antara mereka. Ada ketidaksukaan personal yang kemudian mudah menimbulkan dendam jamaah. Kubu Mega tak suka kubu SBY, meski para pengikut masing-masing kubu acap berbasa-basi saling memuji.

Pemanisnya adalah Bhineka Tungga Ika yang hanya mampir di bibir tetapi tidak menghunjam ke sanubari. Permusuhan serupa, meminjam cara berfikir Permadi, SH adalah klasik. Permusuhan antara Kraton Pajajaran dengan Majapahit yang usianya mencapai 500 tahun.

Di Jawa Barat, Kata Permadi, tidak ada Jalan Hayam Wuruk, sebaliknya, di Jawa  Timur orang tidak suka menggunakan Jalan Siliwangi. Dilacak ke belakang, menurut Permadi permusuhan ini umurnya 500 tahun.

Seorang Kiai dengan gaya yang khas menyindir, bahwa bangsa ini sangat tidak siap dalam hal menghadapi perbedaan pendapat. Yang merasa benar, yang merasa paling hebat, yang merasa paling agamis, kemudian menganggap orang lain salah, orang lain lemah, orang lain kafir.

Celaka, kata Pak Kiai, permusuhan seperti itu dilakukan secara berjamaah. padahal  aslinya, sing  ora gelem omong-omongan itu hanya dua orang tokoh di level pimpinan nasional. Nah, sebab dua tetes nila, rusak susu sebelanga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun