[caption caption="Gencar gerakan diet plastik, hanya permainan bisnis. koleksi Nadia Gristira"][/caption]Terkait dengan hari peduli sampah sedunia, Presiden Joko Widodo, 12 Februari silam menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar. Ada dua hal yang paradok dengan kebijakan tersebut.
Pertama, Jokowi memaksa masyarakat untuk jadi kelinci percobaan, dalam hal pengurangan sampah kategori spesifik. Konsumen harus merogoh kocek Rp 200,00 untuk kantong yang disediakan oleh toko, tempat mereka
berbelanja. Kebijakan Jokowi menuai pro kontra.
Boleh dihitung, sehari berapa orang yang berbelanja di kawasan Jakarta.  Sebut gampangnya 500 ribu konsumen. Berarti Rp 10 juta uang masyarakat disedot untuk keperluan beli sampah baru yang diberi label kantong plastik berbayar.
Kedua, Jokowi menguntungkan produsen kantong plastik berbayar. Sebut ada 10 kota besar yang ngeborong kantong plastik berbayar, berarti Rp 100 juta per hari masuk kantong pengusaha sampah plastik yang disanjung memiliki spesifikasi ramah lingkungan.
Pertanyaan sederhana, siapa produsen kantong plasti berbayar yang dielus-elus Presiden Jokowi? Di balik kebijakan yang tidak populer itu patut diduga ada konspirasi bisnis. Indikasinya sederhana, begitu Jokowi mencanangkan program kantong plastik berbayar, hari itu pula toko waralaba menerapkannya. Bahkan serentak memasang baner diet kantong plastik.
Bisa diartikan, kantong plastik berbayar itu diproduksi jauh sebelum Jokowi melakukan launching. Ini KKN ala Jokowi. Siapa yang bermain di balik bisnis kantong plastik yang dipromosikan ramah lingkungan, hingga kini belum diketahui.
Jangan-jangan kroni Jokowi ada yang jadi pengusaha kantong plastik. Lagi pula, siapa yang berani menjamin kalau kantong plastik berbayar itu benar-benar mudah terurai. Ini banyolan yang gak lucu.
Memang, di dalam UU No 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolan Sampah, terutama Pasal 7 disebutkanan, bahwa dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah pemeritah mempunyai 5 kewenangan. Satu di antaranya menetapkan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah. Berdasarkan pasal ini Jokowi normatif, tidak melakukan kekeliruan.
Kebijakan Jokowi diperkuat Pasal 12.Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis
rumah t angga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan.
Tetapi yang kontradiksi terjadi di Pasal 21, Pemerintah memberikan insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah, dan/atau memberikan disinsentif kepada orang yang tidak melakukan pengurangan sampah.
Implementasi Pasal 21 tidak ada kabar beritanya. Malah Jokowi melakukan manuver yang menyebabkan Jokowi blunder. Mestinya kebijakan itu tidak diwujudkan dalam bentuk kantong plastik berbayar. Toh plastik berbayar ataupun tidak, tetap saja mencemari lingkungan. Jokowi, dalam hal ini nyata menabrak UU persampahan, karena dia mewajibkan mayarakat membeli sampah baru.