Dana 1,5 trilyun rupiah dalam posisi tarik ulur. Pemerintah (Penguasa) melalui Bawaslu, bermain mata, berpura-pura sok baik pada partai politik. Penguasa berniat memberi honorarium kepada saksi untuk 12 parpol peserta pemilu 2014. Penganggaran itu, sebelumnya tidak pernah terdengar. Kalau toh direncana, mustinya DPR tahu. Ironis, wakil rakyat di Senayan sebagian berteriak lantang, tetapi tak ketutupan juga warna munafiknya.
Uang 1,5 trilyun menurut Ketua Bawaslu, Muhammad, dirinci, Rp 800 miliar dianggarkan untuk Mitra PPL, dan Rp 600 miliar untuk membayar honor saksi dari partai politik peserta pemilu. Sisanya yang 1 milyard rupiah tidak dijelaskan.
Bawaslu menempatkan dua Mitra PPL di masing-masing TPS dan diberi honor Rp 100 ribu tiap orang. Begitu juga satu saksi partai politik diberi honor Rp 100 ribu. Diketahui, jumlah TPS seluruh Indonesia adalah 545.778.
Menurut Muhammad, pembiayaan saksi untuk 12 parpol peserta pemilu di masing-masing TPS, adalah tuntutan parpol. Parpol mengaku ingin menempatkan saksinya di seluruh TPS, tapi terkendala dana. Pemerintah, terkait itu, responsif menanggung biaya saksi parpol.
Partai Gerindra merasa keberatan dengan kebijakan saksi parpol dibiayai negara. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, anggota Komisi I DPR mengatakan, alasan keberatan tersebut, karena selama ini partai telah melakukan hal itu secara mandiri. Muzani pamer, Gerindra telah mengalokasikan dana Rp 720 milyard untuk keperluan pembekalan, pelatihan dan perasional saksi.
Tak kalah kencang, suara Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar, Leo Nababan. Dia mengatakan, saksi partai politik peserta pemilu tidak perlu didanai negara, lewat Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia.
Serem lagi Frrey Mursyidan Baldan, Ketua Badan pemenangan Pemilu Partai NasDem. Dia mengatakan saksi yang dibiayai negara adalah sah, tapi itu saksi negara. Sementara saksi parpol, “tidak mimpilah” karena partai sudah memperhitungkan biaya itu sejak awal.
Ada hal yang memancing kecurigaan atas uang Rp 1,5 trilyun yang digelontorkan ke Bawaslu berkenaan dengan biyaya operasional PPL dan saksi parpol. Sepanjang prosesnya wajar, soal rencana penganggaran DPR seharusnya tahu. Mencermati omongan Ahmad Muzani, sepertinya DPR sama sekali tidak terlibat. Atau, tahu tetapi belagak pilon. Ini kecurigaan pertama.
Yang kedua, meski awalnya agak alot, penguasa tiba-tiba berbaik hati meluluskan pengajuan Bawaslau. Orang bebas menduga-duga, jangan-jangan ini manuver Demokrat untuk kepentingan menangguk suara. Kalau toh dana saksi itu dikatakan sebagai tuntutan parpol, pertanyaan sederhana: parpol yang mana? Terbukti Gerindra, Golkar, juga NasDem menyatakan menolak.
Lebih dari sekedar dugaan, mengkaji persitiwa ini, ada dua hal yang patut dicatat. Pertama, Pemerintah (Penguasa) ‘genit’ sekaligus ‘kenes’ main obral anggaran untuk keperluan politik praktis. Kedua, parpol bersikap hipokrit, karena di sisi lain diam-diam menerima bantuan dari penguasa. Yang saya tahu, di Kabupaten Gunungkidul, setiap tahun parpol menerima banpol Rp 2.100 kali sejumlah suara yang diperoleh.
Rakyat, sebagai pemilik syah negeri ini patut berfikir kritis. Saya berniat mengundang Anda untuk merenungkan kucuran Rp 1,5 trilyun. Itu uang siapa? Yang memiliki info akurat, boleh buka-buka, alias berbagi di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H