Tembang yang penuh sanepo buah cipta Kanjeng Sunan Kali Jogo, berlaku ‘ces pleng’ untuk pilkada DKI putaran ke 2, 19 April 2017 kemarin lusa. Belum pernah ada analisis politik yang berlandaskan kebudayaan. Saya mencoba membedah  kekalahan Ahok, melalui budaya masa silam.
Kanjeng Sunan Kali Jogo berbicara dengan bahasa alam. Ungkapan yang dipilih sedemikian halus, sehingga orang Jawa moderen tidak bayak yang memahami kalimat pendek, E...dhayohe teko.
Dhayoh / tamu, adalah subyek atau bangsa lain, yang datang ke pulau Jawa penuh dengan rencana serta kepentingan tertentu. Mereka bukan penduduk asli.
Saking santunnya, bangsa Jawa  sebagai tuan rumah melakukan penyambutan datangnya bangsa lain dengan tatakrama yang jangkep(komplit), E,  gelarno kloso.
Dhayoh yang tidak paham kebudayaan, juga tidak tahu unggah-ungguh,bahkan tidak tahu diri, malah bercelotheh, E, klasane bedhah.
Disambut dengan gupuh atau secara ter hormat masih saja si tamu merasa kurang. Bangsa Jawa tidak terlalu pusing dengan sikap mereka, bahasa kerennya EGP, emang gue pikirin. Dengan rendah hati tamu yang tidak tahu sopan santun itu pun tetap dihormati, disuguh makanan khas Jawa super lezat. E, tambalen jadah. Pesannya: rombongan tamu yang pecicilan itu tetap dihormati kemudian dijamu, diminta mencicipi kuliner super istimewa.
Dasar tamu tak tahu diuntung, mulutnya masih juga ngomel, E, jadahe mambu. Bangsa Jawa yang kebudayaannya terkenal lembut ngungkuli banyu agal ngungkuli gunung merespon dengan jawaban sederhana meski sesungguhnya sudah mulai  agak kasar, E, pakakno asu.
Dialog menjadi berubah, rombongan tamu  tidak tanggap, bahwa asu yang dimaksud adalah bangsa lain yang mulai berulah di tanah Jawa. Sangat geregetan, bangsa Jawa  menyindir, E, asune mati.Maksudnya si tamu mati rasa, tidak paham kebudayaan Jawa.
Sebagai tuan rumah, Bangsa Jawa tanggap, kemudian memutuskan untuk menolak kehadiran mereka dengan statemen halus, E, kelekno kali. Suruh mereka pulang ke negara asal.
Seseorang menginformasikan, bahwa kaline banjir. Sebab itu sangat tidak tepat untuk minta sejumlah tamu terhormat kembali ke negara asal dalam situasi seperti itu.
Pemimpin Jawa kala itu bilang, kelekno pinggir alias cari jalan lain yang lebih aman. Tetapi telik sandi, atau mata-mata membisikkan, bahwa pinggir juga banjir.