Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Candi Tak Terurus Disuport dengan Gelar Budaya

28 Februari 2014   01:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:24 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_314256" align="aligncenter" width="300" caption="Candi Gampingan dipagar teh-tehan. Ft. Bewe"][/caption]

Monggang Gampingan, Desa Sitimulyo, Piyungan, Bantul, 20 tahun lalu ditemukan candi hindu. Hingga saat ini, penduduk setempat tidak banyak yang menaruh peduli. Konsekuensi logis, potensi pariwisata tidak berkembang. Pada hal, candi tersebut adalah lahan empuk. Wahito Tirtowiguno (Yanto), geram. Bersama seluruh potensi masyarakat, lakukan gelar budaya.

Tahun 1994, warga Monggang Gampingan, Sitimulyo, Piyungan, Bantul, yang di keseharian rata-rata bekerja sebagai pembuat terakota (batu bata) digegerkan adanya penemuan bangunan candi.

[caption id="attachment_314260" align="aligncenter" width="300" caption="Bangun candi yang disuport itu. Ft Bewe"]

13934986211734065847
13934986211734065847
[/caption]

Candi tersebut, saat ini dikelilingi tumbuhan jenis teh-tehan dipagarkawat berduri. Tidak lazim sebagaimana bangunan candi, batu bertumpuk tidak sempurna, sebagian berserakan.

Lebih tepat jika disebut sebagai reruntuhan candi, karena penyelematannya, nampak asal-asalan. Tidak ada sentuhan tangan yang mengarah pada pengelolaan untuk keperluan pariwisata. Tumpukan batu candi berada di tengah kolam. Dinas Purbakala menamainya Candi Gampingan.

[caption id="attachment_314265" align="aligncenter" width="300" caption="Wahito didampingi Gugun. Ft.Bewe"]

1393500331839830550
1393500331839830550
[/caption]

Wahito Tirto Wiguno, yang lebih beken dipanggil Yanto, seorang tokoh spiritual setempat merasa prihatin. “Ada potensi wisata cukup hebat, tetapi penduduk pada umumnya tidak peduli,” katanya kepada wartawan Kamis 27/2/2014.

Dengan pikiran yang teramat sederhana, Yanto mendorong masyarakat sekitar, untuk mengapresiasi Candi Gampingan. “Saya tidak berniat membangkitkan animisme dan dinamisme. Pikiran saya, dengan adanya bangunan candi, warga seharusnya bisa hidup layak. Pariwisata sedang booming. Kenapa ini tidak kita garap secara optimal,” kata Wahito, di dampingi Gugun (20), salah satu anggota Karangtaruna.

Untuk mendukung eksistensi (keberadaan) Candi Gampingan, selama 3 hari berturut-turut bakal digelar gebyar budaya. Sabtu, Munggu dan senin 1, 2, dan 3 Maret 2014 dipamerkan kesenian jatilan, kirab budaya, campursari, dan wayang kulit.

Serupiahpun, warga Gampingan tidak ditarik iuran. Dana untuk keperluan gebyar budaya ditaksir menghabiskan Rp 68 juta lebih. Sumbernya berasal dari Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun