Pagi itu pukul 08.30 WIB, pohon asem jawa sepanjang Jalur Yogya -- Wonosari, yang saya ketahui (Putat -- Sambipitu, Desa Bunder Kecamatan Patuk) penuh panflet. Sebagian besar tulisan tangan dengan tinta merah berbunyi "Dukung Gerakan 30 September".
Saya bersama Sunardi, teman sebaya membantu  Budi Santoso (tokoh PNI) serta Darmo Supanto (Nahdatul Ulama) mengumpulkan ratusan panflet kemudian menyerahkannya ke pihak militer (Kodim 0730 Gunungkididul, melalui Koramil Patuk).
Organisari PKI mulai dari PR (Pemuda Rakyat), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Barisan Tani Indonesia (BTI) Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) siaga penuh.
Rencana berikutnya, berdasarkan dokumen yang ditemukan pihak militer tokoh PNI, NU, Gerindo, termasuk keluarganya akan segera dihabisi. Lubang buaya mini telah disiapkan dalam bentuk sumur dan WC yang dibuat sebulan sebelumya, Agustus 1965.
Boimin, dari Komando Rayon MilITER Patuk, mendapat perintah menciduk sejumlah dedengkot PKI Kecamatan. Satu per satu mereka diangkut dengan Jeep dikawal tentara bersenjata lengkap.
Dua orang yang saya masih ingat betul, baik nama dan wajahnya adalah HS, serta WG. Dua orang ini lenyap hingga kini tak dikenal di mana kuburnya. Terbetik kabar mereka dibuang ke Luweng Grubuk, Kecamatan Semanu, Gunungkidul.
Selamatlah Budi Santoso, Darmo Supanto juga keluarganya. Ini sepotong kenangan yang saya ingat hingga sekarang.
Saya yakin banyak diantara Anda juga menyimpan memori serupa, khusus perilaku PKI di area Kabupaten.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H