Perpu No 56/1960 mengatur tentang batas maksimal pennguasaan tanah pertanian. Di Pasal 1 Ayat 2 disebutkan, di kawasan tidak padat penduduk, seseorang boleh menguasai 15 Ha sawah, 20 Ha tanah kering. Untuk kawasan kurang padat 10 Ha sawah, 12 Ha tanah kering. Di kawasan cukup padat 7,5 Ha sawah, 9 tanah kering. Tetapi untuk kawasan sangat padat, warga hanya diijinkan menguasai 5 Ha sawah, dan 6 ha tanah kering.
Lebih spesifik landreform itu merupakan tindakan negara untuk mengambil sebagian tanah yang dikuasai perseorangan yang melebihi batas maksimum sebagaimana diatur dalam Perpu No. 56/1960, bukan sekedar mendistribusikan tanah negara.
Untuk urusan tanah, di negeri ini terkenal rumit. Di DIY misalnya, ada kesombongan budaya, untuk tak menyebut kekuatan feodal yang dipertontonan oleh Kraton Yogyakarta.
Tanah kas desa, oleh Sultan HB X diklaim sebagai miliknya. Memang, pada prakteknya tanah yang dikategorikan sebagai Sultan Gound itu tetap digarap oleh kades dan perangkat desa.
Tetapi Sultan Yogyakarta masih tetap memiliki tanah di atas batas maksimun. Pertanyaannya, beranikah Jokowi meminta tanah Sultan untuk dibagi-bagi?
Landreform memang bertujuan untuk meningkatkan. Kesejahteraan among tani. Balik ke Jakarta, benarkah para pejabat yang nongkrong di ibukota penguasaan tanahnya sudah sesuai UU dan peraturan yang berlaku?
Jawabannya sederhana: reformasi agraria, di tangan Jokowi ibarat gajah di Jakarta tak nampak, kuman di Kalimantan diuber-uber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H