Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi Agraria: Jokowi Berburu Kuman

2 Maret 2016   10:17 Diperbarui: 2 Maret 2016   10:48 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perpu No 56/1960 mengatur tentang batas maksimal pennguasaan tanah pertanian. Di Pasal 1 Ayat 2 disebutkan, di kawasan tidak padat penduduk, seseorang boleh menguasai 15 Ha sawah, 20 Ha tanah kering. Untuk kawasan kurang padat 10 Ha sawah, 12 Ha tanah kering. Di kawasan cukup padat 7,5 Ha sawah, 9 tanah kering. Tetapi untuk kawasan sangat padat, warga hanya diijinkan menguasai 5 Ha sawah, dan 6 ha tanah kering.

Lebih spesifik landreform itu merupakan tindakan negara untuk mengambil sebagian tanah yang dikuasai perseorangan yang melebihi batas maksimum sebagaimana diatur dalam Perpu No. 56/1960, bukan sekedar mendistribusikan tanah negara.

Untuk urusan tanah, di negeri ini terkenal rumit. Di DIY misalnya, ada kesombongan budaya, untuk tak menyebut kekuatan feodal yang dipertontonan oleh Kraton Yogyakarta.

Tanah kas desa, oleh Sultan HB X diklaim sebagai miliknya. Memang, pada prakteknya tanah yang dikategorikan sebagai Sultan Gound itu tetap digarap oleh kades dan perangkat desa.

Tetapi Sultan Yogyakarta masih tetap memiliki tanah di atas batas maksimun. Pertanyaannya, beranikah Jokowi meminta tanah Sultan untuk dibagi-bagi?

Landreform memang bertujuan untuk meningkatkan. Kesejahteraan among tani. Balik ke Jakarta, benarkah para pejabat yang nongkrong di ibukota penguasaan tanahnya sudah sesuai UU dan peraturan yang berlaku?

Jawabannya sederhana: reformasi agraria, di tangan Jokowi ibarat gajah di Jakarta tak nampak, kuman di Kalimantan diuber-uber.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun