Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Presiden Joko Widodo Air, Megawati Soekarno Putri Bola

16 April 2015   08:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:03 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya termasuk satu di antara jutaan warga negara Indonesia yang masgul karena Prabowo Subiyanto gagal terpilih menjadi Presiden RI pada perhelatan pilpres 2014 silam. Saya makin kecewa, bahkan ngedongkol, ketika Joko Widodo dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI diposisikan sebagai petugas partai.

Saya ingat betul, Puan Maharani dalam kapasitasnya sebagai mentri, menyatakan secara terang-terangan di depan publik melalui salah satu TV swasta nasional, “sampai saat ini Pak Joko Widodo masih tetap sebagai petugas Partai.”

Dalam koridor jabatan yang diemban saat ini, siapa pun yang meyatakan bahwa Joko Widodo adalah petugas partai adalah ‘pikun’. Tidak hanya itu, mereka bahkan buta terhadap UUD 1945. Sebagai Kepala Pemerintahan dinyatakan cukup tegas dalam Pasal 4 UUD 1945, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”

Implikasi dari pasal 4, mengikat kepada seluruh elemen bangsa baik secara individu maupun kelembagaan untuk menaruh hormat kepada Presiden. Tidak pandang bulu, siapapun yang menjabat.

Partai politik, atau rombongan partai politik (koalisi) tidak bisa berbuat semena-mena menuding, menekan, memaksa Joko Widodo, untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, mentang-mentang merasa sebagai pengusung.

Pidato politik Megawati Soekarno Putri pada puncak Konggres ke IV PDIP, memimnjam istilah sementara pengamat merupakan curhat nasional, mencerminkan kekecewaan, karena Joko Widodo tidak bisa memuluskan ambisa Mega.

Satu pertanyaan sederhana: Memang Joko Widodo itu saat ini Presiden kamu doang? Oke, jujur, ketika pilpres saya tidak memilih beliau. Tetapi saat ini, saya harus menaruh hormat, karena beliau memegang pemerintahan berdasarakan Undang-Undang Dasar.

Kalau saya tidak salah baca, UUD 1945 cukup memberikan seabrek wewenang konstitutif, salah satu di antaranya adalah di Pasal 10. “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkagtan Laut dan Angkatan Udara.”

Kalau Joko Widodo tidak mengangkat Komjen BG menjadi Kapolri, itu kewenangan beliau terkait dengan pasal 10 tersebut. Tidak ada sebutir pasal pun di dalam UUD 1945 yang mengisyaratkan, bahwa priseiden dalam menjalankan tugas wajib berkonsultasi dengan partai pengusung.

Justru dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa Presiden memiliki hak prerogatif. Saya memetaforakan, tekanan dari partai pengusung, termasuk tekanan dari Megawati Sukarno Putri akan sia-sia.

Jabatan Presiden yang saat ini diduduki Joko Widodo pada hemat saya, ibarat air. Permukaannya senantiasa rata. Artinya Joko Widodo adalah Presidennya bangsa Indonesia, bukan Presidennya PDIP.

Rombongan partai politik di bawah PDIP, menurut saya itu seperti bola. Dia numpang di air. Semakin bernafsu bola itu masuk ke air, semakin terpental dia karena kekuatan dirinya kalah besar dengan energi air. Berat jenis air jauh lebih besar ketimbang berat jenis bola.

Pak Jokowi, sebagai Presiden Anda tidak perlu gentar ditekan. Saya yakin, para penekan itu adalah termasuk golangan orang-orang yang pantas untuk dimaafkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun