Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kirab Gunungan Di Hari Jadi Gunungkidul Dikecam Anggota DPR

29 Mei 2014   23:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:58 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_326318" align="aligncenter" width="137" caption="Slamet, S.Pd. Anggota DPRD Gunungkidul. Dok. Bewe"][/caption]

Kirab Pembangunan, berbarengan dengan peringatan hari jadi Gunungkidul ke 183, dikritisi. Delapan belas Gunungan yang dibawa ke alun-alun Wonosari, dimaknai sebagai simbol pasok bulu bekti glondong pengarem-arem dari camat ke bupati. Oleh kalangan DPRD, pesan pasok bulu bekti dianggap tidak realistik, sekaligus tidak relevan.

Itu perisiwa sejarah masa lalu. Dalam kehidupan nyata,tidak pernah terjadi.Tradisi caos pisungsung, hanya hidup di jaman kerajaan. Pasalnya, bumi yang digarap petani pada saat pemerintahan berbentuk kerajaan, memang tidak dipungut pajak. Sebagai gantinya, melaui bupati, masyarakat tani sowan ke kerajaan, atur bulu bekti.

Dewasa ini,orang hidup di era republik. Masyarakat desa, membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Jadi mustahil berbuat hal seperti itu. Apakah itu untuk melambangkan maraknya gratifikasi?

Demikian Slamet S.Pd. anggota DPRD Gunungkdul, mengkritisi pesan yang disampaikan berbarengan dengan sajian Gunungan pada hari jadi Gunungkidul 27 Mei 2014 lalu. “Melastarikan pawai gunungan, secara budaya, prinsip saya sutuju,” kata Slamet.

Terfokus pada sajian Gunungan, Slamet menambahkan, rupanya panitia pelaksana peringatan hari jadi berniat mengangkat tradisi dan budaya, tetapi sayang sekali substansi dan momentumnya tidak tepat.

Masyarakat reformasi sedang gencar melakukan pemberantasan korupsi, secara demonstratif, Pemkab Gunungkidul memamerkan simbol pemberian upeti kepada Bupati.

Labih tidak bisa diterima akal, 18 gunungan yang diusung para camat, secara acak-acakan dan berramai-ramai diperebutkan masyarakat di depan tamu undangan, termasuk di depan Gubernur DIY. Ubo rampe gunungan berupa sayur-mayur, polowijo dan buah-buahan, bahkan makanan kahas, akhirnya banyak yang mubazir karena banyak yang terinjak-injak.

[caption id="attachment_326321" align="aligncenter" width="590" caption="Rakyat berebut makanan di depan Bupati dan Gubernur. Dok Bewe"]

1401354254380750794
1401354254380750794
[/caption]

Pertanyaan masyarakat sangat sederhana. Apa tradisi pasok glondong pengarem-arem perlu dilestarikan? “Jawaban saya simpel. Tidak,” kata Slamet tandas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun