Mohon tunggu...
Sedang Bambank
Sedang Bambank Mohon Tunggu... -

STATUS: Terbosen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Guruku Mendoakanku

11 April 2010   07:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:51 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_115909" align="alignnone" width="500" caption="Mohon doanya/dokument pribadi"][/caption] Yakin 100% jika yang membaca tulisan ini pernah mempunyai guru, biarlah yang tidak mengakuinya terkutuk seumur hidupnya. Bermula di rumah seorang paman yang seorang guru, sang paman akan menikahkan sepupuku. Sebagai seorang keponakan yang juga tetangga, kami datang berbantu menyiapkan acaranya. Dari membentuk kepanitiaan, mengatur tata ruang juga merencanakan acara. Pada saat itulah tertemukan sebuah selebaran yang isinya mengajak sesama guru di suatu sekolah untuk mendoakan muridnya yang akan UAN kemarin dulu. Karena yakin bukan catatan penting, kuberanikan mengamankan di kantung celana. Sebagai seorang guru tentu saja tamunya kebanyakan juga guru. Seperti malam itu saat Midodareni, ada juga bekas guru SD dan SMP yang datang. Dunia tidak akan membosankan seperti saat itu seandainya tidak ada bekas guru sekolah yang membuat kita muak. Walau sudah bukan anak sekolah, tetapi setiap bertemu guru selalu tercipta ruang dan waktu sekolahan yang membikin jengah. Di sudut hati kita tetap merasa menjadi seorang murid sekolah. Tatapan matanya menagih ada tugas yang belum terselesaikan. Semua cara dan ilmu sudah kami jabarkan, tetapi kenapa kamu belum menjadi sarjana, dokter, jendral dan presiden seperti yang kamu janjikan? Arrrrrrrgh Piye mbang? sapa salah satu bekas guru SMP. Piye, bagaimana, adalah suatu pertanyaan yang sulit kujawab. Seandainya pertanyaan klise, anakmu sudah berapa, tentu mudah kujawab saya tidak punya anak pak! Hahahahahaa Setelah obrolan kikuk yang berliku-liku, kusodorkan selebaran tersebut dengan pertanyaan, apa dulu satu sekolahan mendoakan saya? Lha rumangsamu? (lha menurutmu?) Siaaaaal, itu bukan jawaban yang kuingini. Tersenyum lebar dirimu memandangku yang cuma bisa tertawa panjang salah tingkah. Ampun Tuan Guru, diriku selalu takluk di hadapanmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun