Mohon tunggu...
Bambang Trismawan
Bambang Trismawan Mohon Tunggu... lainnya -

junior jurnalis. suka guyon, suka puisi, dan punya sisi-sisi preversenya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Adakah Perang yang Akhiri Segala Perang?

23 November 2012   15:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:46 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah menggempur Gaza, Palestina selama 8 hari, Israel dan Hamas sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Inilah mungkin perdamaian yang lahir dari adigum Romawi yang terkenal itu: Si vis pacem, para bellum. Artinya, siapa yang mendamba perdamaian, harus siap berperang. Perdamaian akan tercipta jika kedua belah pihak mempunyai senjata yang sama kuat.

Seperti diketahui kesepakatan gencatan senjata dilatari dengan kemampuan persenjataan Hamas dengan roket Al-Fajr yang mampu menembus benteng pertahanan Israel.

Sebenarnya saya bersyukur dengan gencatan senjata tersebut. Namun jika memang perdamaian tersebut dilatari ketakutan berperang, maka perdamaian yang tercipta adalah perdamaian semu. Perdamaian yang rentan.

Lalu bagaimana jalan memperoleh kedamaian?


Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte pernah memelesetkan adigium Romawi tersebut menjadi, si vis bellum, para pacem. Siapa yang menebar perang akan memperoleh perdamaian. Dengan keyakinan itu, Napoleon menginvasi di daratan Eropa. Tapi toh kedamaian tak kunjung tercipta. Peperangan tak menghasilkan apa-apa selain kesengsaraan dan penderitaan.

Di awal-awal perang dunia pertama, penulis asal Inggris HG Wells menerbitkan buku kompilasi esai berjudul The War to end all wars; Ada Perang yang akan menyelesaikan semua perang.

Namun kita tahu sekarang, aforisma yang terdengar heroik dari Wells itu cuma ilusi. Tak ada perang yang mengakhiri perang. Setiap peperangan hanya menghasilkan peperangan, kekerasan kolektif yang beranak-pinak terus menerus. Perang Dunia Pertama berlanjut dengan Perang Dunia Kedua.

Sejarah menerangkan kepada kita lahirnya perdamaian harus dilandasi atas penghargaan terhadap harga diri manusia. Memandang yang liyan sebagai entitas sejajar. Lahirnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) adalah keinginan untuk mewujudkan perdamaian.

Kembali ke Palestina-Israel. Akankan kesepakatan damai dua negara berlangsung lama? Saya tak tahu. Mungkin saya terlalu pesimis dengan kesepakatan damai antara Israel dan Hamas. Bahwa perdamaian tersebut akan hanya sementara.

Tapi semoga saja kesepakatan damai Israel dengan Hamas di Gaza bukan bentuk perdamaian semu. Bukan perdamaian karena takut perang, tapi keinginan untuk hidup berdampingan yang dilandasi atas harga diri manusia. Perdamaian yang menganggap bahwa yang liyan sebagai entitas sejajar.

Dan semoga wilayah Timur Tengah yang membara itu akan menjadi seperti Eropa. Daerah yang dulu merupakan wilayah paling panas karena disulut perang terus menerus, sekarang menjadi kawasan paling damai di dunia.

Semoga.

Bahwa perdamaian itu memang diusahakan.

Si vis pacem, para pacem.

Saya ingat kutipan Karl May dalam bukunya Dan Damai Di Bumi.

Ada ilmu tentang peperangan, baik teori maupun prakteknya.
Ada ilmu tentang perdamaian. Tapi hanya teorinya saja.
Semua orang tahu betapa perang dimaklumkan, tapi tak ada seorang yang tahu bagaimana cara memaklumkan perdamaian. Anda memiliki pasukan yang siap tempur senilai milyaran tiap tahunnya. Tapi dimana benteng-benteng perdamaian….


Selamat berakhir pekan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun