Ada tradisi penting sebuah kampus yang menunjukkan ciri keintelektualan warganya (civitas academica), terutama para dosen, yaitu menulis dan menerbitkan buku. Tidak dimungkiri ini adalah gengsi sebuah perguruan tinggi jika ada banyak dosennya menulis buku dan buku ini menjadi rujukan atau perbincangan. Untuk menampung tradisi ini maka didirikanlah institusi penerbitan yang sering disebut university press.
Rabu, 10 Mei lalu saya diundang oleh Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APTTI) dalam acara Workshop Undang-Undang Sistem Perbukuan dengan tema Peran APPTI dalam Sistem Perbukuan Indonesia. Tempatnya di jantung Jakarta yaitu di Unika Atmajaya, Gedung Yustinus Lantai 14. APPTI beranggotakan 200 penerbit dari berbagai kampus di Indonesia, namun yang terbanyak tetap saja di Pulau Jawa.
Tradisi menulis dan menerbitkan buku di kalangan dosen di Indonesia dapat dikatakan rendah sekali. Menurut Menristek Dikti ada 40 ribu peneliti di Indonesia dan 60% berada di perguruan tinggi. Secara umum basis riset/penelitianlah yang menjadi ide penulisan buku. Walaupun banyak riset dilakukan perguruan tinggi di Indonesia, ternyata tidak semuanya berujung menjadi buku. Umumnya hasil penelitian hanya sampai pada skripsi, tesis, disertasi, atau laporan yang tidak pernah dibukukan.
Itu sebabnya peran university press pada sebuah kampus menjadi vital karena dapat berfungsi mendorong warga kampusnya, terutama dosen menghasil buku. Beberapa university press di Indonesia sudah mampu melahirkan terbitan yang bergengsi, sebut saja seperti UGM Press, UI Press, UB Press, Penerbit ITB, dan IPB Press. Tokoh-tokoh populer dari kampus diterbitkan bukunya, lalu kemudian menjad rujukan.
Walaupun begitu, masih banyak university press (UP) yang dkelola setengah hati. Posisi UP yang lebih banyak sebagai unit pelakana teknis (UPT) kampus menempatkannya menjadi lembaga yang "asal ada" dan kadang dipimpin oleh mereka yang tidak mengerti dunia penerbitan. Akibatnya, banyak UP di kampus-kampus ibarat mati segan hidup tak mau.
Tiga dekade lalu, beberapa UP di beberapa kampus mendapatkan bantuan mesin cetak. Banyak yang kini kemudian menjadi besi tua karena tidak ada yang memanfaatkannya--tersebab tidak ada tenaga grafika yang dapat mengoperasikannya. Era print-on-demand (POD) kini kemudian membuat beberapa UP mulai melirik potensi mesin cetak bertiras kecil ini. Sebut saja Polimedia, IPB Press, dan Penerbit ITB telah mengadakan mesin POD ini yang menjadi unit bisnis percetakan tiras kecil.
Mengapa Tidak Bertumbuh Kembang
Banyaknya UP yang tidak dapat bertumbuh kembang ditengarai karena beberapa hal berikut. Pertama, disebabkan minimnya pasokan naskah buku atau naskah buku yang layak terbit dari civitas academica-nya. Kedua, karena ketiadaan perencanaan bisnis yang jelas. Hal ini dapat dimaklumi karena banyak UP dipimpin oleh pejabat kampus yang tidak terbiasa atau tidak berjiwa entrepreneur. Semestinya UP memang dipimpin seorang profesional yang memahami bisnis penerbitan.
Ketiga, karena gagal memberi daya tawar kepada para dosen pesohor yang menulis buku sehingga para dosen itu lebih senang menerbitkan bukunya di penerbit konvensional. Walaupun merupakan pasar ceruk, penerbitan buku perguruan tinggi tetap dapat mengalirkan keuntungan yang lumayan dengan pasar captive mahasiswa.
Buku-buku seperti Dasar-Dasar Ilmu Politik (Prof. Miriam Budiardjo, Gramedia) dan Psikologi Komunikasi (Prof. Jalaluddin Rakhmat, Rosda) telah menjadi buku induk perkuliahan yang mengalami cetak ulang terus-menerus. Ini menunjukkan peluang betapa karya para dosen juga dapat menjadi buku abadi yang dipakai terus-menerus, bahkan ketika penulisnya sudah tiada. Sebagai contoh karya Prof. Miriam, edisi revisinya diteruskan perevisiannya oleh murid-murid beliau dahulu.
Terkait dengan UU Sistem Perbukuan yang telah disahkan DPR-RI pada 27/4 lalu, ada dua pasal yang menyangkut penerbit perguruan tinggi atau UP ini. Setiap perguruan tinggi diberi keleluasaan untuk mendirikan UP dan telah diakui keberadaannya oleh UU. Karena itu, Kemenristek Dikti dapat juga menjadikan UP sebagai indikator akreditasi kampus. Di pihak penyelenggara UP sendiri, UU Sisbuk dapat menjadi dasar untuk mengembangkan UP seoptimal mungkin. Ada harapan memang UU Sisbuk juga mendorong Kemenristek Dikti untuk membenahi persoalan perbukuan perguruan tinggi yang menjadi ranahnya.