Alkisah seorang pendosa dari Indonesia hendak dijebloskan malaikat penjaga neraka. Seperti kebiasaannya di dunia, ia pun berusaha melakukan negosiasi. Kali aja dibolehkan.
"Mal (panggilan malaikat) kalau di dunia kan ada fasilitas "ruang eksklusif" di penjara. Nah, di neraka ada, nggak?"
"Nggak ada di sini!" tegas Malaikat.
"Hmm ....," tanggap si pendosa kecewa.
"Tapi, kalau mau, ada surga KW ...," bisik Malaikat.
"Hah, boleh tuh ....," kata si pendosa dengan penuh semangat.
"Tapi, tinggal KW3, KW1 dan KW2 sudah habis dipesan," ujar Malaikat lagi.
"Nggak apa-apa deh, Mal, asal stoknya banyak ...."
Si pendosa pun masuk ke surga KW3. Ternyata baru sehari ia sudah tidak tahan dan menjerit-jerit minta dikeluarkan. Surga KW3 ternyata bahasa slank di kalangan warga neraka untuk menyebut neraka lapis ketiga--lebih buruk dari lapis pertama yang seharusnya ditempati si pendosa.Â
Ya, bukan surga sebenar-benar surga karena di neraka, kepalsuan adalah niscaya.
Apakah "neraka" itu sama dengan Indonesia? Ketika semua kepalsuan menjadi tampak wajar atau menjadi sebuah candaan berbahaya: ada daging sapi palsu; ada sampo palsu; ada jamu palsu; ada uang palsu; ada saos palsu; ada buku palsu; ada tulisan palsu; ada ijazah palsu; ada pakar palsu; ada status palsu; dan tentu yang terakhir ada vaksin palsu, kita takubah layaknya berada di neraka.Â