"Apa tanggapan Bapak soal buku Jokowi Undercover?" sebuah pesan percakapan WA entah dari siapa saya terima. Ia kemudian mengaku dari rekan penerbit di Bandung.
"Tanggapan gimana maksudnya?" saya balik bertanya.
"Teman-teman sudah membicarakan buku itu. Bapak penulisnya, kan?"
"Maaf, ya Pak. Itu penulisnya Bambang Tri, sedangkan saya Bambang Trim, pake 'M'...."
Beda satu huruf saja dan ketika seseorang tidak melakukan cek ulang kembali memang berbahaya. Ini kisah saya di penghujung 2016 ketka beberapa orang menyangka bahwa sayalah yang menulis buku Jokowi Undercover yang tiba-tiba masyhur itu. Tidak berapa lama sang penulis yang bernama Bambang Tri Mulyono itu dilaporkan ke polisi, lalu tidak berapa lama pula polisi langsung menangkapnya di Blora. Sempat ada kekhawatiran malah saya yang ditangkap hanya karena orang menyangka tiada beda Bambang Tri dan Bambang Trim--sekadar info nggak penting nama panjang saya Bambang Trimansyah, ibu Minang dan bapak Sunda-Palembang, hehehe.
Hebatnya, Bambang Tri sudah sangat terang-terangan. Ia muncul di FB dan menantang siapa pun, termasuk presiden. Ia juga membeberkan halaman-halaman "horor" di dalam bukunya seolah-olah kebenaran yang meyakinkan, termasuk analisis fotometrik. Saya memang melihat kenaifan sosok seorang Bambang Tri ini. Ia terbantu dengan gemuruh media sosial dan mungkin keberaniannya dilandasi bahwa hoax sudah menjadi santapan sehari-hari yang siap dimakan siapa pun.
Di hadapan polisi untuk sementara ini ia mengaku motifnya semata-mata ekonomi. Ya itu bagi saya sebuah kenaifan bahwa motif ekonomi ditukar dengan kebebasan dirinya atau popularitas sesaat, bahkan keselamatan jiwanya. Sewaktu Fadli Zon dikonfirmasi soal fotonya dengan orang ini, Fadli mengatakan itu foto 4-5 tahun lalu ketika Bambang Tri menemuinya untuk membicarakan soal penerbitan bukunya yang lagi-lagi menjual sesuatu yang kontroversial berjudul Adam 31 Meter. Fadli sama sekali tidak tertarik membantu penerbitannya.
Nah, saya jadi ingat naskah tersebut yang menurut Fadli sekira 4-5 tahun lalu diajukan kepadanya. Tahun 2011 saya masih bekerja di sebuah penerbit di Solo. Naskah itu pernah mampir ke Solo dan dibahas dalam rapat redaksi. Kepada editornya saya bilang, "Kalau Nabi Adam panjangnya 31 meter, so what gitu loch?"Â
Saya ingatkan kembali kepada tim redaksi untuk berhati-hati menerima naskah berkonten seolah-olah kontroversi yang dilandasi kebenaran. Dulu sewaktu bekerja di sebuah penerbit di Bandung, saya juga menerima naskah dengan topik bahwa Hitler masih hidup dan melarikan diri ke Kalimantan. Naskah itu dilengkapi foto hitam putih yang buram dan sama sekali tidak benar-benar memperlihatkan sosok Hitler yang misterius.
KONTROVERSI, ini memang tema yang sangat laku dijual. Pada zaman SBY terbit juga buku kontroversial berjudul Gurita dari Cikeas yang ditulis mendiang George Aditjondro meskipun saya tidak yakin betul bahwa George benar-benar menulis buku itu karena gaya penulisannya seperti reportase dan mengambil cuplikan-cuplikan berita media. Pasca reformasi, banyak juga buku kontroversial terbit bertajuk "buku putih" dan "buku hitam".Â
Kontroversi yang paling menarik sekaligus berisiko adalah kontroversi yang menyerang tokoh sangat terkenal dengan membongkar sejumlah fakta. Dulu semasa bekerja di MQ, saya juga menghadapi buku bertajuk Rapor Merah Aa Gym. Banyak yang mendorong saya mengeluarkan buku jawaban. Namun, saya memang enggan membalas buku itu, tetapi kemudian sudah ada yang menulis buku jawaban berjudul Rapor Biru Aa Gym. Saat bekerja di Salamadani, saya mengamini penerbitan buku kontroversi sejarah yang ditulis Prof. Ahmad Mansur Suryanegara. Buku ini juga laris manis dan mengalami cetak ulang berkali-kali.Â