Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salah (Ke)Tik Putusan MA yang Menggelitik

3 April 2017   14:05 Diperbarui: 4 April 2017   18:22 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa tahun lewat, saya pernah terlibat dalam editing draf Peraturan MA tentang mediasi. Memang tidak mudah untuk mengedit draf naskah hukum dengan bahasa hukum yang harus diinterpretasikan dengan jelas. Demikian pula beberapa tahun lewat, saya pernah melakukan editing ratusan dokomen asuransi di sebuah perusahaan asuransi ternama. Pesan dan harapan perusahaan itu adalah bagaimana dokumen-dokumen asuransi itu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta tidak mengandung interpretasi ganda. Hal itu sesuai dengan anjuran OJK.

Dengan dua pengalaman tersebut dan pengalaman lain sebagai editor, memang saya menemukan hal-hal yang tampak sepele seperti salah tik (bukan ketik) dapat mengubah arti atau berpotensi malah menimbulkan masalah. Jadi, perangkat lunak untuk pengecekan ejaan (speeling check) kurang begitu berfungsi karena kata dalam bahasa Indonesia yang salah tik dapat menghasilkan kata baru berbeda makna.

Kelalaian editing terjadi pada putusan judicial review MA ketika nama lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pasalnya, putusan itu ditujukan untuk DPD, tetapi tersebut DPRD sehingga menimbulkan  "kegaduhan" di kalangan anggota DPD. Ternyata, kasus kesalahan penulisan surat ini sudah pernah terjadi sebelumnya.

Kasus-kasus salah tik umumnya karena memang kelalaian yang mengetik dan kedua juga karena kelalaian editor atau bahkan lebih parah di lembaga-lembaga pemerintah tersebut memang tidak memiliki editor. Aktivitas editing dan profesi editor sejatinya tidak hanya diperlukan oleh lembaga penerbitan, tetapi juga lembaga yang mengeluarkan dokumen-dokumen tertulis, terutama dokumen penting seperti lembaga negara.

Di beberapa negara dunia, ada penyelenggaraan pendidikan dengan nomenklatur Penulisan dan Penyuntingan Profesional (Professional Writing & Editing). Pendidikan tersebut memang menyiapkan tenaga-tenaga profesional yang piawai menulis sekaligus menyunting (editing). Di Indonesia program studi seperti ini tidak ada atau dulu pernah ada. Kalaupun ada yang diselenggarakan terkait editing, namanya adalah Jurusan Penerbitan di Polimedia (tetapi mata kuliahnya lebih generik soal penerbitan). Adapun Prodi Editing di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran yang sempat didirikan tahun 1988 kini sudah ditutup.

Dengan kata lain, pendidikan khusus editor boleh dikatakan tidak ada di Indonesia. Setahu saya di Universitas Negeri Semarang ada program editing dalam bentuk peminatan di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi tetap bukan pendidikan khusus. Padahal, jelas negara kita memerlukan banyak editor untuk menghindarkan kesalahan penerbitan dokumen, apalagi dokumen penting.

Editing juga bukan hanya melulu soal bahasa, melainkan juga ada hal-hal lain yang harus diedit, seperti legalitas, kepatutan, serta ketelitian data dan fakta. Kasus yang ditengarai salah tik di MA sejatinya kasus ketelitian data dan fakta, bukan kasus salah tik (typographical error) karena salah tik itu cakupannya adalah huruf terbalik (contohnya: 'besar' menjadi 'sebar'); huruf hilang ('keras' menjadi 'kera'); huruf berganti ('sanksi' menjadi 'sangsi'); dan huruf bertambah ('kelu' menjadi 'keluh'). Salah tik terjadi umumnya karena pengetik tidak terampil mengetik sepuluh jari atau mengetik cepat serta terburu-buru tanpa melakukan pengecekan ulang.

Dalam kasus putusan MA ada penambahan kata "Rakyat" sehingga mengubah makna DPD menjadi DPRD. Mungkin pengetiknya lagi melamun dan editornya merasa tidak ada yang salah. Mungkin juga dua-duanya sedang melamun. Jadi, hal ini menunjukkan juga lemahnya editing di lembaga-lembaga pemerintah. Kasus ini bukan hanya terjadi di MA, melainkan juga terjadi di lembaga pemerintah lainnya. Jika tidak ada perbaikan, pasti akan terulang kembali.

Kesimpulannya, pendidikan penulisan dan editing sebagai pendidikan vokasi itu sudah mendesak diadakan, termasuk pelatihan-pelatihan editing untuk sekretaris, staf humas, ataupun personel yang ditugaskan untuk menulis. Selain itu, perlu juga diadakan SKKNI profesi editor sehingga editor pun harus disertifikasi sesuai dengan level kemampuannya. Akhirnya, saya memang tergelitik lagi dengan kasus yang disebut salahl tik ini. Memang tidak ada naskah yang tak retak; tidak ada penulis yang luput dari kesalahan; di situlah editor diperlukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun