Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menghukum Penerbit

27 Februari 2017   06:58 Diperbarui: 27 Februari 2017   16:01 1318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Baru lewat seminggu, RUU Sistem Perbukuan diujipublikkan di Semarang dan Medan kepada para pemangku kepentingan perbukuan nasional. Dari Semarang mencuat suara lantang para penerbit yang diwakili Ikapi soal materi RUU terkait sanksi pada Pasal 31. Penerbit mengkritik mengapa hanya mereka sebagai pelaku perbukuan yang dikenai sanksi. Memang Pasal 31 mengatur sanksi dalam konteks perdata bagi penerbit yang melanggar beberapa ketentuan. Sanksi administratif itu berupa

  1. peringatan tertulis;
  2. penarikan produk dari peredaran;
  3. pembekuan izin usaha; dan/atau 
  4. pencabutan izin usaha.

Meski Panja RUU Sisbuk Komisi X DPR-RI menjanjikan akan membawa persoalan tersebut dalam rapat internal, pas pada hari itu juga (20/2) menyembul masalah buku dari penerbit yang juga turut hadir pada uji publik RUU Sisbuk. Apalagi kalau bukan masalah buku anak yang mengandung konten pendidikan seks dan kurang berterima di masyarakat pembaca. Lalu, terjadilah pro dan kontra. Saya membahasnya dalam beberapa sisi di tautan berikut ini bertajuk Membela Penulis. 

Tulisan saya itu juga viral di internet untuk mewakili suara penulis yang tidak hendak serta merta dituduh menyengajakan diri menulis buku "berbahaya" bagi pendidikan anak. Saya juga menyentil respons yang semestinya dijalankan penerbit dalam manajemen krisis terkait buku bermasalah. Begitu juga respons masyarakat yang harus proporsional dan profesional menanggapi hal ini.

Nah, saat itu persoalan buku ini sudah bergerak seperti bola liar, tetapi ada empat pantulan bola yang perlu dicermati. Pertama, bola terpantul juga ke Panja RUU Sisbuk Komisi X DPR-RI yang memang sedang berkepentingan menyiapkan UU untuk mengatur ekosistem perbukuan. Ketua Panja RUU Sisbuk, Sutan Adil Hendra, dalam rapat internal RUU Sisbuk tanggal 22/2 telah memberikan respons memaklumi niat baik penulis dan penerbit serta lebih pada mengingatkan kembali penulis dan penerbit untuk berhati-hati dalam penerbitan buku, apalagi terkait pendidikan seks anak. Panja RUU Sisbuk menghargai sikap penerbit yang langsung menarik buku dan meminta maaf ke publik. Dalam konteks ini saya hadir sebagai tim pendamping ahli untuk Panja RUU Sisbuk, Komisi X DPR-RI.

Bola kedua memantul ke KPAI yang juga bersuara keras pada awalnya. Namun, pada pertemuan manajemen Tiga Serangkai (penerbit yang tersandung masalah ini) dan KPAI, hasil akhir menunjukkan KPAI melunak dan hanya memberi nasihat kepada penulis serta tim editorial yang hadir agar ke depan lebih berhati-hati. KPAI mendukung penulis dan penerbit untuk terus berkarya kembali. Tampaknya KPAI telah mendapat penjelasan utuh dari penulis dan penerbit.

Bola ketiga sangat sengit memantul ke Mendikbud Muhadjir karena Pak Menteri sudah langsung menyampaikan akan memberi sanksi ke penerbit. Hasilnya sangat mengejutkan seperti dalam tautan Kompas.com 26/2 bahwa Mendikbud menjatuhkan sanksi black list untuk Penerbit TS. Baca Mendikbud "Black List" Penerbit Buku "Aku Berani Tidur Sendiri". Jika dicermati, sanksi black list ini memang tidak ada dalam draf RUU Sisbuk.

Daftar hitam ini mungkin berbuntut panjang. Pasalnya, Kemendikbud akan melarang Tiga Serangkai untuk menerbitkan buku kembali, terutama untuk bahan ajar anak-anak. Dampaknya sangatlah besar bagi penerbit yang termasuk tertua di Indonesia ini yang didirikan tahun 1958 oleh pasangan guru  (Abdullah dan Siti Aminah). Harus dilihat juga bahwa kontribusi TS pada dunia pendidikan Indonesia selama ini juga sudah sangat besar sehingga hukuman buat TS mestinya juga diberikan secara proporsional.

Sebelum membahas lebih lanjut, saya ungkap juga bola keempat yang memantul ke Menko PMK, Puan Maharani. Dalam satu berita, Menteri Puan juga meminta dilakukannya investigasi terhadap penerbitan buku ini.  Wajar jika Menteri Puan juga bersuara karena Kemendikbud berada di bawah koordinasinya dan ia juga berkepentingan dengan konsep Revolusi Mental yang disebarkan melalui buku. 

Soal menghukum penerbit ini, saya melihat Menteri Muhadjir dapat berpatok saja pada RUU Sisbuk yang sebentar lagi disahkan oleh Pemerintah. Jadi, pertimbangan kepada TS dapat ditetapkan dengan surat teguran atau yang lebih berat dari itu adalah pembekuan sementara izin untuk menerbitkan buku anak karena hukuman nomor 2 sudah dilakukan sendiri yaitu menarik buku dari peredaran. Buku anak yang bermasalah itu sendiri diterbitkan oleh imprint Tiga Ananda yang tidak berbadan hukum karena semuanya dinaungi oleh badan hukum Tiga Serangkai Pustaka Mandiri (TSPM). Secara khusus Mendikbud dapat melakukan investigasi dengan memanggil penulis serta penerbit dan melibatkan ahli terkait masalah ini.

Terkait sanksi untuk penerbit ini akan diperjelas di dalam PP setelah RUU disahkan sebagai bunyi Pasal 31 ayat (3). Soal mem-black list ini belum ada ketentuannya. Dulu saat masih berlangsungnya proyek pengadaan buku pelajaran yang didanai World Bank tahun 2000-an pernah juga mencuat kasus black list penerbit. World Bank mem-black list sepuluh penerbit di Indonesia, termasuk pimpinannya karena dianggap menodai integritas yang telah disepakati. Saat itu belum ada KPK, hanya World Bank berdasarkan investigasi menemukan ada ketidakberesan dalam penilaian buku yang dilakukan pemerintah Indonesia dan penerbit. Sedikit banyak peristiwa itu sangat memalukan bagi dunia pendidikan dan dunia perbukuan di Indonesia. 

Buku-buku yang benar-benar bermasalah atau dicap bermasalah tampaknya bakal terus terjadi jika memang tidak ada pembinaan, pengaturan, dan pengawasan dari pemerintah terhadap ekosistem perbukuan yang di dalamnya terjadi interaksi antarpelaku perbukuan. Karena itu, RUU Sisbuk bukan lagi mendesak untuk segera diundangkan, melainkan sudah harus. Kasus buku TS itu seperti "alarm" tanda bahaya yang sudah dibunyik tepat saat uji publik RUU Sisbuk dilakukan. Memang tidak perlu ada yang harus kebakaran jenggot karena jangan-jangan apinya justru berasal dari rambut di kepala kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun